Festival Keagamaan

1

Detik-detik menjelang lebaran aku selalu terngiang-ngaing akan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran” dengan satu kalimat yaitu bulan di atas kuburan. Sajak tersebut cukup terkenal di bumi pertiwi ini, bukan dikarenakan ditulis oleh orang tersohor sekaliber Sitor Situmorang melainkan esoterisme sajak yang terasa paradoks itu selalu melahirkan makna baru bagi si pembaca.
Ringkasnya, konon penulisan sajak pendek itu ketika Sitor Situmorang ingin silaturrahmi ke rumah Pramoedya Ananta Toer dan tersesat. Dibalik tembok putih ia melihat sebuah kuburan dan terciptalah sajak fenomenal tersebut.
Kata “bulan” dan “kuburan” memang sebuah metafora yang bertubrukan. Kata “bulan” selalu digambarkan akan kebahagian seseorang menyambut datangnya hari raya ‘Idul Fitri, sedangkan kata “kuburan” digambarkan akan kesedihan seseorang, kegelapan dan berjiwa kotor.
Idul Fitri di negara kita tidak saja perayaan keagamaan tetapi sekaligus perayaan kebudayaan. ‘Id artinya kembali dan fitri artinya suci. Puasa Ramadhan beberapa hari akan kita tinggalkan, kita akan keluar dari rahim Ramadhan yang penuh dengan godokan dan latihan dengan sebuah kemenangan dan kebahagiaan.
Pelbagai latihan esoteris puasa kita tempuh, tetapi dengan dimensi bathiniyah yang bersih seseorang belum mampu menjadi insan kamil (manusia sempurna), harus ada dimensi eksoterik yang kita tempuh juga yaitu dengan lebaran. Lebaran yang dikenal sebagai kearifan lokal menyimpan makna liberasi (pembebasan) dari simbol kebinatangan yang memiliki kecenderungan untuk menguasai benda menuju kesucian sebagai fitrah manusia dan dalam bahasa Sosiologi “attachment total” – meninggalkan individualisme yang mengakar pada egoisme (ke-AKU-an) menuju maiyah atau kebersamaan. Al-Qur’an menggambarkan sifat fitrah itu sering dilanggar oleh manusia dengan melakukan kesalahan dan kekhilafan karena tidak mengetahui (Qs. al-Rum/30: 30).
Bulan kebahagian itu bisa kita dapatkan dengan hati yang gembira, tetapi pertanyaan kuno mengintari kita yaitu bagaimana nasib orang miskin. Logika kapital telah mengitari kita, konsumsi sehari-hari yang naik, peralatan untuk lebaran meningkat dan tiket mudik yang mahal membuat segelintir masyarakat Indonesia tidak bisa menikmati seperti halnya kita. Gambaran “bulan” diatas belum bisa kita dapatkan karenanya Islam menyuruh penganutnya untuk mengeluarkan zakat sebagai pembersih harta, di dalam harta kita terdapat harta kekayaan orang lain.
Lebaran kita sambut dengan pelbagai adat dan kebudayaan masing-masing daerah, didalamnya terdapat spirit pencerahan, indikasi ini ditandai dengan kesadaran kolektif manusia untuk kembali kepada orientasi kehidupan yang bersih. Momentum lebaran ini membuat manusia tidak saja tersucikan oleh hubungannya dengan Tuhan tetapi manusia.
Keadaan-keadaan suci itu harus terus kita pertahankan dari alam kegelapan (kuburan), tidak saja pada ranah individual tetapi dalam negara pun harus menang atau keluar dari praktek-praktek yang dilarang oleh Tuhan. Kita harus menyakini akan hadirnya Tuhan tidak saja dalam kesunyian – meminjam istilah Goenawan Mohamad bahwa Tuhan (Islam) pertama kali hadir di dalam kesepian – tetapi kita harus yakin ada dalam keramaian.
Pemerintahan baru nantinya harus mengambil spirit puasa dan Idul Fitri karena praktek korupsi dan sejenisnya merupakan pengingkaran spirit itu. Keteladan seorang pemimpin yang suci dari KKN akan melahirkan bangsa yang bermartabat, berkualitas dan bersih. Kita tidak saja baru dalam hal serba-serbi festival lebaran tetapi kita juga harus festival keteladan. Inflasi nilai-nilai ideal kehidupan yang kita dapatkan ketika puasa dan momentum Idul Fitri harus ada dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia.
Semoga kita menjadikan momentum ini sebagai representasi untuk menggapai harapan baru atau lebih baik dimasa yang akan datang. Selamat menunaikan ibadah Idul Fitri. Wallahu a’lam bish-shawab.

Pandangan Quraisy Syihab Tentang Jaminan Surga Untuk Nabi Muhammad

9

Penafsirannya yaitu kejahatan yang terpendam di dalam jiwa. Kita semua memiliki kesalahan, keburukan, nafsu yang mendorong kepada kejahatan, sehingga bila kita mendengar berita yang sejalan dengan hal-hal di atas, kita menjadi senang, bahkan menambahnya, karena menganggap hal tersebut sebagai pembenaran atas kelemahan pribadi kita atau pembenaran atas niat buruk kita, ungkap Zaky Abdul Qodir dalam kolom Nahwa al-Nur.

Bismillahirrahmanirrahim
Di tengah hiruk pikuk perpolitikan yang ada belakangan ini, kita disajikan sebuah berita yang mendiskreditkan atau ingin memojokkan sosok Quraisy Shihab, tokoh mufasir ternama Indonesia abad modern, yang tulisannya banyak dijadikan penelitian dalam bidang tafsir al-Qur’an khususnya.
Quraisy Shihab lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan. Keluarga keturunan arab yang terpelajar, ayahnya Abdurrahman Shihab juga seorang ulama dalam bidang tafsir al-Qur’an, kontribusinya dalam bidang pendidikan ketika menjadi rektor UMI (Universitas Muslim Indonesia) dan IAIN Alaudin Ujung Pandang.
Benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an merupakan warisan dari ayahnya. Pendidikan formalnya dimulai dari SD di Ujung Pandang. SLTP di kota Malang sambil nyanti di Pondok Pesantren Darul Hadist al-Falaqiyah. Selanjutnya, ayahnya mengirim beliau ke al-Azhar, Cairo tahun 1958 dan diterima tingkat dua Tsanawiyah. Setelah itu ia melanjutkan ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadis, tepat pada tahun 1967 ia meraih gelar LC. Tahun 1969 ia meraih gelar MA dengan tesis al-I’jaz al-Tasryi’i al-Qur’an al-Karim (kemukjizatan al-Qur’an al-Karim dari segi hukum). Tahun 1973 ia balik ke Ujung Pandang dan menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di tahun yang sama 1980 ia kembali ke al-Azhar untuk melanjutkan studi doktoralnya, ia meraih gelar doktor hanya membutuhkan waktu 2 tahun dengan disertasi Nazm al-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (kajian terhadap kitab Nazm al-Durar). Sekilas profil beliau dan kawan-kawan bisa membaca profilnya di pelbagai buku-buku yang ada.
Howard M Federspiel mengatakan sosok Quraisy Shihab sangat unik, ia seorang terdidik yang lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Populer Indonesian Literature of The Qur’an. Di dalam bidang tafsir metodologi yang dipakainya yaitu maudhu’i. Karya ilmiahnya dalam bidang tafsir yaitu Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an sebanyak 15 jilid dan untuk pelbagai macam metode dalam bidang tafsir kita bisa membaca karyanya Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an. Keduanya menjadi pavorit saya diantara pelbagai karyanya yang saya koleksi.
Quraisy Shihab bukan pertama kali ini dituduh sebagai orang Syi’ah apalagi sesat, ketika menerbitkan buku Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan: Mungkinkah! Beliau dituduh Syiah dan oleh Tim Penulis Buku Pustaka Pondok Pesantren Sidogiri dibantah dengan judul buku Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” pada tahun yang sama 2007. Tanggapan ringan dari Quraisy Shihab atas reaksi terhadap bukunya oleh salah satu pesantren bisa kita lihat di dalam Buku Putih Mazhab Syiah Menurut Para Ulamanya Yang Mukhtabar dengan berargumen bahwa “jika saya bereaksi dengan membantahnya lagi saya merasa terlambat lahir”. Kawan-kawan bisa membaca tanggapan ringannya dengan membeli bukunya atau mendownload via google.
Quraisy Shihab pada bulan ramadhan kali ini setiap menjelang sahur menjadi narasumber di salah satu media televisi Metri TV dengan judul Tafsir Al-Misbah, tepat pada tanggal 12 Juli 2014 pada menit ke 19 sampai 23an (versi youtube.com denagn judul Pernyataan Sesat Quraisy Syihab Bahwa Nabi Tidak Dijamin Masuk Surga) membahas masalah kemuliaan Rasulullah dan jaminan masuk surga baginya. Setelah viedonya diunggah pada tanggal 14 Juli 2014, dikutip oleh situs http://www.kiblat.net dengan judul Quraisy Shihab: Tidak Benar Nabi Muhammad SAW Mendapat Jaminan Surga dan dikutip lagi oleh situs http://www.arrahmah.com dengan judul Sebut Nabi Muhammad tak dijamin surga, Quraish Shihab keliru tafsirkan dalil.
Dalam ajaran-ajaran samawi manusia akan memperoleh balasan sesuai amal perbuatannya di dunia. Khusus dalam al-Qur’an tempat kenikmatan di akhirat kelak diungkapkan dengan kata al-Jannah (tunggal) atau al-Jannat (jamak). Jika dilihat dari akat katanya dari jim dan nun menurut pakar bahasa Ibnu Faris maknanya tirai atau tutup. Dalam Qur’an kata al-Jannah dengan pengertian surga seluruhnya berjumlah 71, 51 tergolong Makkiyah (diturunkan sebelum Nabi berhijrah) dan 20 tergolong Madaniyah (setelah Nabi berhijrah). Al-Ragib al-Isfahani dalam Mufradat Alfazil-Qur’an menyebut surga ada tujuh buah sedangkan Ibnu Qoyyim dalam Hadil-Arwah ila Biladil-Afrah menyebut 12 nama surga.
Mari kita kaji kalimat yang menjadi persoalan saat ini yaitu “Tidak benar. Saya ulangi lagi tidak benar bahwa Nabi Muhammad mendapat jaminan Surga” dan kita tidak boleh memisahkan pernyataan diatas dengan kalimat “tidak seorang pun orang masuk surga karena amalnya, dia berkata baik amalnya akan masuk surga, surga adalah hak prerogratif Tuhan” dan “Kalau ditanya, kamu pun tidak wahai muhammad? kecuali kalau Allah menganugerahkan rahmat kepada saya”.
Dari awal saya mengatakan bahwa metodologi penafsiran Quraisy Shihab dibangun diatas metodologi maudhu’i. Oleh karenanya Kalimat “Tidak benar. Saya ulangi lagi tidak benar bahwa Nabi Muhammad mendapat jaminan Surga” perlu kita tinjau juga dengan metodologi maudhu’i.
Menurut saya, Quraisy Shihab menempatkan Nabi Muhammad pada sisi seperti “al-Basyar (manusia biasa)”. Pada tatanan sisi dimana manusia mempunyai dosa, kesalahan dan khilaf. Pada QS. Abasa/80: 1-2 bagaimana Allah menegur Nabi Muhammad dengan cara yang sangat halus. Al-Biqa’i mengatakan Allah melakukan demikian karena perbuatan Nabi kepada Abdullah ibn Ummi Maktum. Ditengah kesibukan Nabi menjelaskan kepada tokoh-tokoh musyrikin Makkah, diantaranya Walid ibn al-Mughirah tiba-tiba datang Abdullah ibn Ummi Maktum dan membuat Nabi tidak berkenan, Nabi terlihat pada air mukanya tidak merasa senang.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa Nabi melakukan kesalahan tetapi perbuatan Nabi tersebut “tidak patut ia lakukan”, karena itu diluar kebiasaannya yang kasih sayang kepada orang lain. Pada sisi “al-Basyar (manusia biasa)” ini tidak ada salahnya Quraisy Shihab mengatakan bahwa Nabi Muhammad sekalipun tidak dijamin masuk surga. Tetapi mari kita lihat runrutan logika yang dibangun Quraisy Shihahb. Setelah demikian, dimana para sahabat MENGIRA bahwa Nabi Muhammad dijamin masuk surga, karena sahabat sekelilingnya mengira amal kebajikan Nabi itulah yang bisa membuat dirinya masuk surga. Maka turunlah hadis: Tidak ada seorangpun yang dimasukan surga oleh amalnya.”Para sahabat bertanya, “Termasuk anda, wahai Rasulullah?” “Termasuk saya, hanya saja Allah meliputiku dengan ampunan dan rahmatnya.
Hadis diatas disandarkan oleh Quraisy Syihab pada Qs. Fathir/35: 35 (darul muqamat) yang artinya: “Yang dengan “karunia-Nya (fadhl) menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu”. Hadis dan ayat inipun diperkuat lagi dengan perkataan Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya al-Hikam al-‘Athaiyyah Syarah wa Tahlil pada bagian pertama (hikmah pertama), yang artinya: Termasuk tanda berpegang pada amal adalah kurang mengharapkan ampunan Allah Swt ketika berbuat kesalahan. Artinya, seharusnya seseorang tidak boleh menganggap amalnya dia itu yang memberesi semua tetapi ridho Allah terhadap amal itulah yang memberesinya. Amal tanpa ke-ridho-an Allah tidak ada gunanya.
Sedangkan pada sisi kedua Nabi Muhammad “la ka al-Basyr (tidak seperti manusia biasanya)”. Pada kalimat “tidak seorang pun orang masuk surga karena amalnya, dia berkata baik amalnya akan masuk surga, surga adalah hak prerogratif Tuhan” dan “Kalau ditanya, kamu pun tidak wahai muhammad? kecuali kalau Allah menganugerahkan rahmat kepada saya” ini terlihat Allah membuat Nabi Muhamad berbeda, berbeda karena dosanya telah diampuni (QS. al-Fath/48: 2). Dilain Ayat juga Qs al-Nahl/16: 32 yang artinya “Masuklah kamu ke dalam surga itu di sebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. Ayat ini memang jika dilihat dari segi dzohirnya akan timbul penafsiran bahwa amal itulah yang menjadikan seseorang memperoleh surga padahal tidak, disini dibutuhkan ridho-Nya.
Dua ayat diatas mengindikasikan kepada kita bahwa amal Nabi Muhammad dijamin telah diridhoi-Nya, disini berbeda dengan amal yang kita kerjakan, maka selanjutnya Quraisy Shihab “tapi buat kita, bahwa kyai sebesar apapun, setaat apaupun jangan pastikan bahwa dia masuk surga”. Ini sudah jelas, mengapa saya mengatakan bahwa Nabi Muhammad dijamin masuk surga karena telah diridho-Nya, karena Nabi Muhammad di dalam pelbagai hadistnya telah dijamin oleh Allah. Misalnya dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an Tafsir al-Thabari (jilid 10) pada QS. al-Kaustar/108: 1 ketika mengatakan bahwa al-Kaustar itu sungai yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw oleh Allah di dalam surga. Di lain itu yang dimaksud yaitu kebaikan yang banyak. Artinya, memang Nabi Muhammad disamping sudah dijamin karena sudah mendapatkan ridho-Nya – sedangkan kita berbuat amal belum tentu diridho-Nya dan amal kebajikannya lebih banyak dari apa yang telah kita lakukan.
Jadi Menurut saya pembahasan surga oleh Qurais Shihab tidak bertentangan dengan ajaran agama, tetapi memang ada kelompok-kelompok tertentu yang memburamkan atau memenggal-menggal pernyataan Quraisy Shihab. Dan kita tidak boleh luput, orang yang mengatakan sesat atau menilainya salah dalam menafsirkan al-Qur’an adalah mereka yang memang awalnya tidak suka dengan pemikiran Quraisy Shihab. Penafsiran seseorang boleh berbeda tetapi menyalahkan penafsiran dengan menyesatkan adalah kesalahan yang fatal. Al-Qur’an adalah bersifat tetap tetapi pemaknaan terhadap al-Qur’an tidak tetap. Pelbagai mufasir yang telah membuat penafsiran terhadap kandungan ayat al-Qur’an tetapi tidak ada yang menyesatkan karena perbedaan pendapat.
Tulisan saya kali ini sekedar mengingat-ingat kembali ilmu yang saya miliki, jika terdapat perbedaan saya mempersilahkan kepada khalayak untuk mengkritik tetapi dalam koridor ilmiah, tidak ada kata sesat menyesatkan, kafir dan mengkafirkan karena itu bukan sifat seorang akademisi. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Koalisi: Tak Disukai Tapi Perlu

0

Jika anda bertanya pada seorang politisi, apakah senang dengan munculnya wacana koalisi partai, jawabannya kemungkinan besar negatif. Pada dasarnya politisi tidak suka berbagi kekuasaan. Kalau dimungkinkan, mereka ingin berkuasa sendiri tanpa harus direpotkan oleh pernak-pernik power sharing yang rumit. Bagi kaum politisi, koalisi merupakan keterpaksaan karena tidak ada alternatif yang lebih baik.
Yang menarik, kalau anda kemudian mengajukan pertanyaan yang sama pada rakyat kebanyakan secara acak, kemungkinan besar jawabannya juga sama negatifnya. Bagi kebanyakan rakyat, koalisi hanyalah permainan para politisi untuk membagi-bagi kekuasaan. Koalisi dianggap sebagai “politik dagang sapi,” tawar-menawar posisi, kedudukan, atau keistimewaan khusus lainnya. Rakyat curiga, dalam wheel and deal tersebut, kaum politisi mulai memikirkan diri mereka sendiri setelah menebar seribu janji dalam pemilu.
Ironis, bukan? Politisi tidak suka koalisi, karena kekuasaannya harus terbagi. Rakyat juga sami mawon, karena kuatir bahwa semua itu hanya kamuflase dari kepentingan untuk bagi-bagi posisi dan rezeki di kalangan politisi.
Bagi saya, dalam hal ini, persoalan dasarnya kembali ke rakyat kita lagi. Kita harus jujur mengakui bahwa rakyat Indonesia memang agak mendua. Di satu sisi, kecurigaan mereka memang sangat tinggi pada koalisi yang sedang dirumuskan oleh partai politik. Namun di sisi lain, rakyat memilih dan membagi kekuasaan secara hampir merata pada partai-partai peserta pemilu. Hasil Pemilu 2014, sebagaimana yang telah saya jelaskan di rubrik “Analisis” ini minggu lalu, memperlihatkan bahwa rakyat menghendaki adanya dekosentrasi kekuasaan. Tidak ada satu pun partai yang diberi kekuasaan secara dominan.
Terlepas dari ironi seperti itu, kenyataan yang harus dihadapi sekarang adalah keniscayaan untuk menggumpalkan, atau mengumpulkan, dukungan: koalisi boleh saja tidak disukai oleh semua pihak, tetapi ia tetap diperlukan, baik dalam memungkinkan berjalannya pemerintahan yang efektif, maupun dalam pengajuan dan pemilihan presiden dan wakilnya.
Dalam hal yang terakhir ini, mengenai pemilihan capres dan cawapres, prasyarat 25 persen suara nasional jelas tidak mampu dipenuhi, bahkan oleh PDIP yang meraih perolehan suara tertinggi. Karena itu yang dikejar sekarang adalah pemenuhan prasyarat lainnya, yaitu 112 kursi parlemen. Kita masih harus menunggu penghitungan suara yang sekarang sedang berlangsung ketat di berbagai daerah untuk melihat apakah PDIP dan Golkar mampu mencapai atau melampaui angka keramat tersebut.
Partai-partai lainnya sudah pasti tidak akan mencapainya, termasuk Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB yang berada di urutan 5 besar. Mereka harus membangun koalisi, mengumpulkan jumlah kursi yang memadai, agar bisa menjadi peserta dalam pemilu presiden pada 9 Juli nanti. Kalau tidak, mereka hanya akan menjadi penonton di pinggir lapangan.
Adapun mengenai PDIP dan Golkar yang berada di dua urutan teratas, kemungkinan koalisi juga agak muskil untuk dihindari. Esensi pemilu adalah pencarian atau pelebaran dukungan seluas-luasnya bagi capres dan cawapres mereka. Kuning, merah, biru, hijau, putih, jingga: apapun warnanya, Sang Kandidat pasti akan menyambut dengan tangan terbuka jika tambahan dukungan mereka mampu menaikkan elektibilitas yang dibutuhkan untuk memenangkan pilpres mendatang.
Jadi untuk memperbesar kemungkinan suara dan menjamin kemenangan dalam pilpres, koalisi adalah sebuah hal yang dibutuhkan oleh siapa pun.
Setelah menang dalam pilpres, koalisi tersebut bukan lagi sebuah kebutuhan, tetapi menjadi sebuah keniscayaan. Sang Pemenang harus menghitung dengan teliti berapa besar dukungan kursi yang dibutuhkan dalam parlemen untuk memastikan bahwa pemerintahannya mampu berjalan efektif. Ia tidak bisa bertindak sendiri, semuanya saja. Karl Marx pernah berkata bahwa manusia memang membuat sejarah, tetapi dia tidak bisa membuatnya seenaknya sendiri. Diterapkan dalam sistem politik Indonesia, ungkapan itu bisa berbunyi: Sang Pemenang Pilpres bisa saja menang besar, namun dalam memerintah, dia akan menjadi tokoh yang naif jika beranggapan bahwa elektibilitas yang tinggi sama dengan kekuasaan yang dominan dalam menelurkan kebijakan.
Saya kira, siapa pun yang akan menang dalam pilpres mendatang, dia bukanlah tokoh yang naif tersebut. Koalisi akan terbentuk pasca-pilres, dan belajar dari Pilpres 2009, konfigurasi koalisi tersebut mungkin akan berubah atau berbeda dengan koalisi pra-pilpres. Dalam hal terakhir ini, permainan politik yang piawai dimainkan oleh Golkar: sebelum pilpres, dia menjadi seteru, namun setelah pilpres, dengan modal 106 kursi di DPR RI, Golkar menjadi kawan, ikut dalam perahu besar menjadi bagian dari koalisi baru pemerintahan SBY-Boediono.
Memang, terhadap pemerintahan SBY-Boediono pasca-pilpres 2009, ada beberapa kritik bahwa koalisi yang terbentuk terlalu hiruk-pikuk, terlalu besar dengan kepentingan yang terlalu beragam sehingga sulit untuk dikendalikan. Sekber (sekretariat bersama) partai-partai koalisi yang dibentuk tampaknya tidak efektif dalam mengharmoniskan hubungan di antara mereka. Beberapa kali ada peluang untuk merampingkan koalisi, namun sayangnya hal tersebut tidak dilakukan.
Kritik seperti ini, on the second thought, barangkali cukup berdasar. Namun saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menyesali masa lalu. Ia harus menjadi pelajaran bagi pemerintahan baru nantinya.
Seberapa besar koalisi pasca-pilpres yang ideal? Berapa banyak partai, berapa jumlah kursi yang dibutuhkan sebagai basis dukungan parlemen badi presiden baru nanti? Apakah zaken kabinet, atau pemerintahan para ahli dan profesional (bukan politisi partai), memang mungkin diciptakan dalam sistem politik dan kenyataan politik yang ada sekarang?
Dalam hal pertanyaan terakhir ini, jawabannya agak muskil. Konstitusi kita sudah mengatur bahwa semua kebijakan pemerintahan dalam bentuk undang-undang harus mendapat persetujuan bersama oleh presiden dan DPR, baik dalam soal anggaran, perjanjian internasional, dan berbagai kebijakan pemerintahan lainnya yang bersifat strategis. Pengangkatan pejabat-pejabat negara tertentu seperti Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Bank Indonesia, dan sebagainya, juga harus mendapat persetujuan DPR. Tanpa mendapat dukungan yang cukup di parlemen, niscaya presiden tidak akan bisa menjalankan pemerintahan yang baik.
Bahkan kelangsungan jalannya pemerintahan bisa terancam jika, misalnya, rancangan APBN tidak mendapat persetujuan parlemen. Lebih jauh lagi kesalahan-kesalahan pemerintahan dapat dengan cepat dapat dijadikan alasan bagi parlemen untuk menggunakan hak-hak interpelasi, angket, maupun hak menyatakan pendapat. Dan jika kesalahan itu menyangkut presiden sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dapat diajukan pemakzulan (impeachment), maka dukungan parlemen menentukan jatuh atau bertahannya presiden.
Jadi bagi saya, tuntutan pembentukan kabinet ahli non-partai adalah sebuah non-starter, harapan yang akan kandas sebelum matahari terbit. Soalnya bukan baik atau buruk, tetapi mungkin atau tidak mungkin. Dan dalam politik, kita berbicara soal kemungkinan, bukan keharusan normatif yang digagas tanpa peduli pada fakta dan aturan yang ada.
Pertanyaan terpenting di sini adalah: koalisi yang bagaimana? Seberapa besar persisnya koalisi yang mendekati harapan kita akan sebuah pemerintahan yang ideal?
Jawabannya tergantung pada kadar resiko yang sanggup ditoleransi oleh presiden baru kita. Jika sekedar ingin bertahan untuk tidak dijatuhkan di tengah masa jabatannya, maka yang dibutuhkan adalah kumpulan 1/3 plus 1 kursi di parlemen, sebab proses pemakzulan hanya bisa terjadi dengan persetujuan 2/3 anggota DPR.
Namun tentu saja kalau hanya di dukung oleh 1/3 plus 1 kursi di DPR, pemerintahan eksekutif tidak mungkin bisa efektif. Akan terlalu banyak gejolak dalam hubungan antara presiden dan parlemen yang akan berakhir dengan kebuntuan, deadlock.
Bisa saja presiden mendapat dukungan lebih besar dari 1/3 plus 1 namun lebih kecil dari setengah jumlah kursi DPR. Ini berarti presiden menjalankan pemerintahan minoritas, karena hanya didukung oleh minoritas anggota parlemen. Dalam beberapa kasus di Eropa Barat, pemerintahan minoritas memang bisa berjalan beberapa lama. Tapi umumnya pemerintahan minoritas, dalam konteks sistem parlementer Eropa Barat, tidak bersifat stabil, serta dalam menjalankan kebijakan selalu berhadapan dengan tembok yang terlalu membatasi gerakan pimpinan lembaga eksekutif.
Di Amerika Serikat, dengan sistem presidensial yang mirip dengan sistem kita, pemerintahan minoritas kerap terbentuk. Hal ini, misalnya, terjadi tahun lalu, dalam masa pemerintahan Presiden Obama yang kedua. Salah satu aspek negatifnya bisa dilihat pada perundingan soal anggaran pemerintah: pada ujungnya terjadi government shutdown selama dua minggu di akhir tahun lalu, yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Karena itu, sebagai besar ahli ilmu politik tetap menganjurkan perlunya dukungan minimal 50 persen plus 1 di parlemen agar pemerintahan bisa berjalan dengan efektif. Bahkan jika perlu ada sedikit tambahan lagi sebagai bantalan, cushion, untuk mengantisipasi adanya sebagian anggota koalisi yang menyempal, baik karena tergoda oleh rayuan partai lain, atau semata-mata karena kepentingan “ideologi.”
Jadi, koalisi sebaiknya terbentuk dengan jumlah kursi yang memadai, katakanlah 50 persen plus plus. Tetapi ada juga patokan lainnya yang perlu diingat: semakin besar suatu koalisi, semakin luas pula spektrum kepentingan dan ideologi partai-partai yang berkoalisi, dan karenanya akan semakin sulit bagi presiden baru kita untuk mengendalikannya.
Dalam pilihan dan takar-menakar inilah dibutuhkan kearifan sekaligus kepiawaian politik dari Sang Pemimpin baru kita. Politics is the art of the possible. Tidak bisa mutlak-mutlakan. Tidak bisa bersikap “pokoknya ini mau saya”. Sang Pemimpin harus mampu merangkul, tetapi pada saat yang sama harus mampu mengajak berbagai elemen politik yang berbeda untuk berjalan mencapai tujuan yang sama.
Itulah harapan kita. Semoga ia menjadi kenyataan agar Indonesia terus bergerak maju, bukan berputar-putar dalam kesulitan yang sama lima tahun ke depan.

Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.
Viva News, Kamis, 24 April 2014
Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/499183-koalisi–tak-disukai-tapi-perlu

Pemilu 2014: Dekonsentrasi Kekuasaan

0

Selalu saja ada drama dalam pemilu. Semua politisi berharap-harap cemas. Kali ini rakyat yang berkuasa. Rakyat telah menentukan siapa yang menjadi pemenang dan siapa yang kalah, siapa yang bertahan, siapa yang harus angkat kaki dari parlemen. Drama itu bergulir begitu cepat dengan adanya metode hitung cepat (quick count), sehingga pada hari itu juga kita sudah bisa mendapat gambaran hasilnya. Belum resmi memang, namun kira-kira angkanya tidak berbeda jauh dengan hasil yang sebenarnya dari KPU.
Dari hasil hitung cepat terlihat dramanya tidaklah sesederhana sekedar siapa menang dan siapa kalah. Ternyata Pemilu 2014 menghasilkan partai pemenang yang tidak terlalu senang dengan kemenangannya yang hanya berada pada kisaran 18-19 persen. Maklum, harapannya menang dengan angka 27-35 persen. Ada juga yang melejit, tetapi hanya sampai kisaran 11-12 persen, tidak akan cukup untuk mengusung sendiri calon presiden. Ada juga partai yang mampu bertahan di posisi ke-2 walau digempur dengan berbagai isu, dan kini harus merumuskan kembali langkahnya ke depan.
Selain itu, ada juga partai yang jelas-jelas jatuh, terpotong hingga kurang dari separuh perolehan pemilu sebelumnya, tetapi dalam hati tetap bersyukur masih mendapat suara pada kisaran 9-10 persen. Ada lagi partai yang bermimpi mengusung capres dan cawapresnya sendiri, tetapi ternyata hanya mampu lolos tipis dari ambang batas minimal, berada di urutan terakhir, sehingga mimpi indah tadi terpaksa harus dilupakan. Tentu saja ada pula partai yang benar-benar bergembira karena berhasil memperoleh dukungan yang di luar dugaan, masuk kelompok 5 besar, walaupun sebenarnya perolehannya tidak lebih dari kisaran 8 persen.
Semua drama ini terjadi karena dalam pemilu 2014 rakyat memutuskan untuk membagi kekuasaan secara hampir merata pada partai-partai peserta pemilu. Tidak ada satu pun partai yang diberi mandat kekuasaan yang jauh lebih besar dari yang lainnya. PDIP yang selama ini beroposisi sekarang diberi kesempatan untuk berkuasa, tetapi tidak dengan kekuasaan yang dominan, malah lebih kecil dari kemenangan Partai Demokrat pada pemilu 2009.
Bahkan, jika di ukur dari 3 pemenang teratas, total suara mereka pada pemilu 2014 juga lebih kecil dari total suara 3 partai terbesar pada pemilu 2009. Pada pemilu kali ini, total suara PDIP, Golkar dan Gerindra hanya mencapai 45,84 persen, seperti yang terlihat pada hasil akhir quick count SMRC (Saiful Mujani Research Consulting). Sementara total suara Partai Demokrat, Golkar dan PDIP sebagai pemuncak perolehan suara pada pemilu 2009 justru mencapai 49,27 persen.
Singkatnya, puncak gunung dalam pemilu 2014 lebih rendah daripada puncak gunung hasil pemilu 2009.
Ada lagi hal menarik lainnya. Jika diukur dari 3 partai terbawah (PPP, Nasdem, Hanura), total suara yang berhasil diraup adalah sekitar 18 persen. Pada Pemilu 2009 jumlah ini hanya berada pada kisaran 13 persen.
Jadi kalau puncak gunung tadi cenderung merendah, maka kaki gunungnya justru cenderung meninggi.
Itulah potret Pemilu Legilatif 2014. Puncak gunungnya lebih rendah dan kaki gunungnya lebih tinggi. Otomatis, dengan begitu, perut gunungnya lebih lebar. Artinya, partai-partai menengah mendapatkan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Gunung yang persis dengan pengandaian seperti itu terdapat di Sulawesi Selatan, namanya Gunung Lompo Battang, secara literal artinya “gunung berperut besar.”
Apa makna semua itu? Bagi saya, fenomena tersebut dapat disebut sebagai dekonsentrasi kekuasaan. Bukan penggumpalan, tetapi “pelebaran” dukungan yang relatif merata ke banyak partai. Saat ini, rakyat rupanya lebih suka untuk membagi suara mereka secara meluas kepada partai-partai kontestan pemilu. Tidak ada satu pun yang diberikan mandat secara dominan untuk berkuasa. Barangkali rakyat saat ini kuatir, jika mandat terlalu besar diberikan kepada salah satu partai, resiko penyalahgunaan kewenangan akan menjadi terlalu tinggi.
Jadi mungkin bisa disimpulkan, setidaknya untuk sementara ini, bahwa fenomena dekonsentrasi tadi adalah cerminan peningkatan ketidakpercayaan rakyat terhadap politik dan sistem kepartaian kita.
Selain itu, ada lagi fenomena lainnya yang juga menarik untuk dipelajari. Jumlah partai yang lolos dari threshold bertambah, dari 9 menjadi 10 partai. Artinya, parlemen akan tambah semarak. Hal ini adalah salah satu keunikan Pileg 2014: ambang batas dinaikkan, dari 2,5 menjadi 3,5 persen, namun jumlah partai justru bertambah, bukan berkurang sebagaimana yang diharapkan semula. Apakah hal ini adalah cerminan dari gagalnya gagasan penyederhanaan sistem kepartaian kita? Mudah-mudahan tidak.
Dengan semua itu, saat ini bisa dibayangkan bahwa dunia politik dan panggung pengambilan keputusan di DPR RI akan sangat cair dan dinamis. Partai-partai di papan tengah, seperti Partai Demokrat dan PKB, serta partai-partai di papan bawah seperti Nasdem dan Hanura, akan menjadi penyeimbang yang menentukan. Sejauh mereka dapat memainkan porsinya dengan kreatif, maka peran mereka akan vital dalam pengambilan berbagai keputusan strategis dalam lima tahun ke depan.
Kuncinya adalah kepandaian membangun koalisi dan kerjasama lintas partai. Tak ada partai yang bisa jalan sendiri. Kompromi dan moderasi akan mewarnai berbagai kebijakan. Ilmu Kungfu politik benar-benar harus dimainkan oleh para politisi kita. Barangkali proses politik dan pengambilan kebijakan akan lebih lama, lebih ruwet, lebih berkelok-kelok. Suka atau tidak, itulah harga yang harus dibayar. Rakyat sudah memutuskan, and now we have to live with the consequences.
Rumitnya pemerintahan mendatang akan berlipat lagi jika kita juga memikirkan hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Presiden baru kita, siapapun dia, boleh saja terpilih oleh lebih dari 50 persen pemilih, tetapi dalam pemerintahan sehari-hari dia harus tetap bekerjasama dengan parlemen yang kekuasaanya terdekonsentrasi. Presiden RI ke-7 nanti harus bisa membangun koalisi yang cukup besar dan memeliharanya agar bisa menjalankan pemerintahan secara efektif.
Jika tidak, pengambilan keputusan akan banyak bertemu dengan jalan buntu, deadlock. Di Amerika Serikat, gejala ini kerap disebut sebagai demosclerosis, sebuah penyakit dalam sistem demokrasi yang menghalangi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Singkatnya, dinamika hubungan antara presiden dan parlemen kemungkinan akan menjadi lebih kompleks dengan suhu yang lebih tinggi. Bisa dikatakan bahwa tantangan bagi Presiden RI yang baru nanti akan lebih tinggi ketimbang presiden sebelumnya, setidaknya secara politik.
Tentu saja, sebagai warga negara yang baik, kita semua mendoakan dan berharap bahwa tokoh yang terpilih nanti akan berhasil melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Jokowi, Prabowo, ARB, atau tokoh lainnya: siapapun yang pada akhirnya berhasil melewati garis finish, kita harapkan akan menjadi pemimpin yang piawai, tokoh yang amanah, serta sosok yang mumpuni. Indonesia harus tetap melangkah maju, betapapun terjal jalan yang terbentang di depan kita.
Terlepas dari semua itu, kita juga perlu memetik pelajaran dari Pileg 2014. Saya tetap berpendapat bahwa upaya penyederhanaan partai tetap harus dilanjutkan, walaupun sekarang jelas bahwa upaya ini bertemu dengan kenyataan pahit.
Sistem pemilu proporsional tertutup maupun terbuka terbukti tidak kondusif untuk menyederhanakan sistem pemilihan sebagaimana yang kita harapkan. Walaupun sistem proporsional telah di lengkapi dengan ambang batas yang cukup tinggi (yaitu 3,5 persen) untuk mengeliminasi partai-partai gurem, tetapi ia terbukti tidak efektif.
Selain itu, sistem proporsional terbuka ini ternyata juga sangat menyulitkan dan membingungkan rakyat. Hal ini tercermin dari begitu tingginya tingkat suara rusak, yang diperkirakan mencapai angka 7-9 persen. Artinya, sekitar 10 juta suara warga negara harus dinyatakan sebagai suara yang tidak sah, sebagian besar karena bingung dalam penentuan antara partai dan kandidat di dapil masing-masing.
Semua itu masih ditambah lagi dengan tingginya angka golput pada pemilu kali ini, yang diperkirakan mencapai angka di kisaran 30 persen, atau sekitar 60 juta orang.
Belum lagi kalau kita lihat juga sebuah akibat yang menyedihkan: kompetisi internal partai ternyata lebih tajam ketimbang kompetisi antar-partai. Kawan separtai harus bertarung dan sikut menyikut untuk memperebutkan kursi di dapil yang sama, terkadang dengan cara-cara yang jauh dari terpuji. Semua ini bukannya memperkuat sistem kepartaian kita, tetapi justru melemahkannya dari dalam. Partai menjadi semakin rapuh, semakin personal, serta semakin tercerai-berai di dalam tubuhnya sendiri.
Saya kira semua itu jauh dari cita-cita kita pada awal era reformasi sekian tahun silam. Kita ingin memperkuat sistem kepartaian, bukan melemahkannya, agar demokrasi Indonesia dapat ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh dan stabil.
Sistem pemilihan proporsional terbuka sebenarnya digagas dengan niat yang cukup mulia, yaitu untuk mendekatkan kaum politisi di parlemen dengan pemilihnya. Namun ternyata hasil yang diperoleh jauh dari itu. Rakyat menjadi bingung, apatis, dan kaum politisi berkompetisi tanpa arah dan ukuran yang jelas. Intinya, what we got is the worst, not the best, sides of many possibilities.
Karena itu, kita harus mulai memikirkan secara serius untuk beralih ke sistem pemilu distrik, dengan mekanisme first past the post, dengan satu kursi untuk satu dapil. Hanya sistem seperti ini yang bisa menjamin proses penyederhanaan sistem kepartaian secara berkesinambungan.
Sistem distrik juga akan memunculkan wakil-wakil rakyat dengan tingkat responsibilitas yang tinggi. Dan dengan jumlah partai yang lebih sedikit di parlemen, sekitar tiga atau paling banyak empat partai, pembentukan koalisi dan pengambilan keputusan akan lebih sederhana dan cepat. Presiden pun akan bisa menjalankan pemerintahan dengan lebih tenang serta dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tertata dan dapat diandalkan.
Tentu saja, peralihan dari sistem proporsional ke sistem distrik tidak akan mudah. Kader-kader partai yang termasuk “pemimpin jenggot”, yaitu kader yang berakar ke atas tetapi tidak berakar ke bawah, akan kesulitan bersaing dalam sistem distrik, dan karena itu akan menentangnya.
Tapi ada satu harapan kita: Pemilu 2014, dan pemilu sebelumnya, telah melatih sebagian politisi kita di berbagai partai untuk berhubungan langsung dan membangun jaringan yang riil di kalangan pemilih. Saya yakin bahwa kader partai semacam ini kini jumlahnya sudah cukup memadai. Karena itu, partai-partai besar yang ada, seperti Partai Golkar, PDIP, dan partai lainnya, pasti sudah mampu mengidentifikasi kader-kadernya yang potensial untuk bersaing dalam sistem distrik.
Pertanyaannya, maukah dan beranikah kita beralih ke sistem baru ini? Kalau tidak, bersiap-siaplah untuk menjalani begitu banyak konsekuensi yang muncul dari sistem kepartaian yang terlalu kompleks yang di barengi dengan kekuasaan yang terdekonsentrasi.
Saya berharap, di tahun-tahun mendatang, akal sehat kita akan kembali berada di depan. Kita harus membangun konsensus baru, agar demokrasi Indonesia menjadi lebih baik lagi. Setuju?

Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.
Viva News, Kamis, 17 April 2014
Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/497406-pemilu-2014–dekonsentrasi-kekuasaan

Wakil Presiden: Hanya Pelengkap?

0

Winston Churchill pernah berkata bahwa dalam dunia politik, jangka waktu dua minggu adalah bagaikan eternity: dalam politik yang cair, apapun bisa terjadi dalam waktu singkat. Don’t take anything for granted.
Pendaftaran capres dan cawapres untuk berlaga dalam Pilpres pada 9 Juli nanti akan segera dibuka kurang dari dua minggu ke depan, 18-20 Mei. Ada yang menebak bahwa mungkin akan muncul 4 pasang kandidat. Tetapi ada pula yang berspekulasi bahwa pada akhirnya hanya akan ada dua pasang kandidat yang mendaftar ke KPU.
Mana yang benar? Hari ini belum ada jawaban pasti. Pimpinan partai dan calon-calon kandidat masih mencari, merumuskan, memilih pasangan yang cocok. Ada pertemuan yang muncul di permukaan dengan liputan media yang luas.
Tetapi pasti ada pula perundingan di balik layar, tersembunyi dari radar wartawan. Politics is about movements in the shadows, demikian salah satu ungkapan yang ada dalam buku teks ilmu politik.
Sambil menunggu dan menebak-nebak, tidak ada salahnya kalau kita diskusikan terlebih dahulu apa sesungguhnya peran seorang wapres. Saya sudah beberapa kali menulis tentang peran dan asal-usul lembaga presiden di rubrik ini. Sekarang, tidak ada salahnya jika kita juga mengerti posisi dan peranan orang nomor 2 terpenting di Republik kita, Sang Pendamping, the Second Person in the line of power.
Secara umum, posisi seorang wapres lebih banyak dianggap hanya sebagai aksesoris sistem presidensial. Bahkan, lebih jauh lagi, kalau kita simak apa yang ada dalam konsitusi kita, peran wapres hanya dipandang sebagai “ban serep” yang berfungsi jika presiden “mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya.”
Konstitusi kita tidak pernah merinci tugas dan fungsi wapres. Yang tercantum hanya kalimat seperti ini: “Dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang menjadi tugas wapres sehari-hari, atau bagaimana wapres harus menjalankan perannya dalam pemerintahan.
Walaupun secara formal wapres memang hanya dianggap sebagai pelengkap, namun dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari semuanya tergantung pada dinamika hubungan pribadi serta the level of trust antara presiden dan wapresnya, serta tergantung pula pada konteks sejarah.
Dalam sistem otoritarian, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, peran wapres memang lebih banyak menjadi pelengkap. Dalam dua tahap sejarah ini, panggung pemerintahan didominasi oleh seorang tokoh. Bung Karno dan Pak Harto hampir tidak memberikan ruang yang memadai bagi wapres mereka masing-masing untuk memainkan peran yang berarti.
Bung Karno, setelah Bung Hatta mengundurkan diri pada 1956, bahkan tidak merasa memerlukan wapres selama bertahun-tahun, praktis hingga akhir kekuasaannya yang tragis di tahun 1966-67. Pak Harto memiliki banyak wapres, dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, hingga Jendral Try Sutrisno dan Prof. Habibie.
Semua nama itu adalah tokoh-tokoh terhormat, namun dalam pemerintahan sehari-hari mereka hanya memainkan peran yang sangat terbatas. Prof. Habibie barangkali sedikit berbeda, sebab pada akhir era Orde Baru, Pak Harto memberinya ruang yang sedikit lebih leluasa.
Setelah era reformasi hampir dua dekade yang silam, aturan formal tentang peran dan fungsi wapres memang tidak mengalami perubahan. Tapi dalam prakteknya, muncul berbagai dinamika penting dan menarik, seiiring dengan berubahnya komposisi dan gelora politik dalam demokratisasi kita.
Reformasi mengubah susunan bintang di jagat politik kita, the realignment of the stars, dan karena itu pula perilaku serta hubungan antara our political stars juga mengalami perubahan.
Hal ini muncul pertama kali pada masa kepresidenan Gus Dur. Waktu itu, PDIP muncul sebagai juara atau pemenang besar Pemilu 1999, dengan perolehan suara 34 persen. Kemenangan ini adalah kemenangan yang fantastis, bagian dari eforia reformasi di mana PDIP dan Megawati Sukarnoputri dianggap sebagai simbol dan antitesis rezim yang sedang tumbang.
Karena itu, wajar saja jika Megawati yang saat itu menjadi wapres berada di posisi yang unik. Ia orang nomor 2, tetapi perolehan suara partainya jauh melampaui perolehan suara partai pendukung Presiden Gus Dur, yaitu PKB.
Karena keseimbangan yang jomplang ini, maka saat itu muncul wacana untuk memberikan peranan yang lebih vital dan lebih luas bagi wapres. Ada berbagai ide yang muncul, misalnya pemilahan praktis Kepala Negara (Gus Dur) dan Kepala Pemerintahan (Megawati), dan semacamnya. Tentu saja ide ini ditolak Presiden Gus Dur, dengan alasan bahwa ide tersebut inskonstitusional.
Jalan keluarnya adalah sebuah trik yang cantik: di bawah Megawati, lembaga kesekertariatan wapres diperkuat, dengan peran yang lebih dari biasanya. Lewat lembaga inilah, serta lewat peran Fraksi PDIP di parlemen, Megawati sebagai wapres memainkan peran yang penting dalam pemerintahan sehari-hari.
Setelah era Gus Dur-Megawati, serta Megawati-Hamzah Has, peran wapres yang unik lainnya terjadi pada duet SBY-JK pada periode 2004-2009. Boleh dikata, duet ini adalah pasangan paling dinamis yang ada dalam sejarah kita.
Presiden SBY memberi ruang yang cukup luas bagi Wapres JK dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, termasuk dalam pembuatan kebijakan. Kiprah JK dalam bidang ekonomi dan perdamaian di Aceh sangat menonjol.
Namun semua itu tetap berada dalam koridor yang ditentukan oleh Presiden SBY. Langkah dan inisiatif JK, walaupun kelihatan di permukaan sering diambil secara ad hoc dan independen, pada ujungnya tetap dilaporkan kepada SBY, dan jika disetujui, ditetapkan dengan keputusan presiden.
Kredit tertinggi untuk semua kebijakan pemerintahan tetaplah harus ditujukan kepada Sang Presiden, dengan catatan tambahan bagi peran dan jasa Sang Wapres.
Setelah duat SBY-JK, pada pemerintahan berikutnya duet SBY-Boediono sebenarnya juga berpeluang menjadi duet yang tidak kalah dinamisnya. Boediono adalah seorang profesor ekonomi, pemikir yang serius, serta pejabat pemerintahan dengan segudang pengalaman.
Beliau pernah menjadi pejabat tinggi Bappenas di Era Pak Harto, Menteri Keuangan di Era Megawati, maupun Menko Ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia di zaman SBY-JK. Dengan karakternya yang “halus” serta dengan kredibilitasnya yang tinggi, Boediono mendapat ruang yang luas dari Presiden SBY untuk memberi kontribusi dalam pemerintahan sehari-hari, khususnya dalam masalah ekonomi dan pengawasan kinerja kabinet.
Memang, betapapun tingginya kemampuan dan kredibilitas Boediono, satu hal yang tidak dimilikinya: dukungan dan jaringan politik, terutama di parlemen. Tanpa dukungan dan jaringan semacam ini, langkah dan peranan Boediono nampak sangat sempit, dibatasi oleh tembok-tembok yang sulit untuk ditembusnya.

Menuju lembaga wapres yang kuat?
Jadi itulah kurang lebih cerita dan sejarah singkat wapres di negeri kita. Ke depan, menurut saya, peran wapres harus bisa diperkuat, dibuat lebih berfungsi secara substansial, tapi tetap dalam koridor sistem presidensial. Matahari pemerintahan harus tetap satu, yaitu Sang Presiden. Tetapi Sang Wapres dapat menjadi rembulan yang indah dalam jagat raya sistem pemerintahan Indonesia.
Beberapa contoh menarik dari Amerika Serikat yang juga menganut sistem presidensial seperti kita dapat menjadi pelajaran berharga. Dua wapres AS terakhir dianggap sebagai tokoh yang telah menjalankan perannya dengan efektif: bukan ban serep, tetapi juga tidak mengambil alih panggung tertinggi.
Dick Cheney mendampingi Presiden George W. Bush selama dua periode. Dengan pengalamannya sebagai politisi senior di Partai Republik, ia memainkan peran vital di bawah Bush dalam merumuskan kebijakan dan memimpin pemerintahan sehari-hari, khususnya di bidang pertahanan dan diplomasi internasional.
Ia dianggap sebagai pendamping yang hampir sempurna bagi seorang presiden yang memang tidak memiliki banyak pengalaman di bidang-bidang strategis tersebut, khususnya setelah peristiwa terorisme 9/11 yang menghentakkan publik AS waktu itu. [Lihat foto di link aslinya, pen].
Setelah Dick Cheney, wapres berikutnya di bawah Presiden Obama adalah Joe Biden. Ia juga dianggap sebagai tokoh politik senior yang berasal dari Partai Demokrat.
Pengalamannya yang luas, serta karakternya yang lumayan keras dianggap melengkapi sosok Sang Presiden yang intelektual dan sangat kalem. Joe Biden diberi kewenangan yang luas dan mampu mengukir perannya dengan baik. Hal ini tampaknya diamini oleh publik AS, terbukti dengan terpilihnya kembali duet Obama-Biden untuk memimpin Gedung Putih di periode kedua, 2012-2016.
Singkatnya, Cheney dan Biden berhasil sebagai wapres tanpa menimbulkan ancaman atau tanpa mengambil porsi dari Sang Presiden. Mereka menjalankan perannya sebagai pembantu presiden yang loyal.
Bahkan dalam beberapa hal, mereka pasang badan, diverting the attack on them, sehingga Sang Presiden memiliki tembok pengaman politik yang handal dan terpercaya.
Kadang mereka menjadi pemain cadangan, kadang menjadi pemain bayangan tanpa bola, tetapi kadang pula mereka menjadi pemain penyerang, the attacking dog, yang mengigit atau mengejar lawan-lawan politik untuk mengamankan kebijakan pemerintahan.
Karena itu, kedua wapres tersebut dianggap sebagai aset penting oleh presiden masing-masing dan diminta untuk mendampingi dalam dua masa jabatan. Hubungan mereka mulus, produktif, dan saling melengkapi, dan karena itu menjadi pelajaran berharga untuk merumuskan pola hubungan presiden-wapres yang ideal, baik di AS maupun di Indonesia.
Khususnya buat kita, pelajaran demikian harus kita simak baik-baik. Konstelasi baru politik Indonesia dan kebutuhan pemerintahan modern menghendaki munculnya peran wapres yang lebih dari sekadar ban serep.
Persoalannya adalah, apakah Sang Presiden terpilih nanti bersedia memberi ruang yang cukup luas bagi wapres dalam pemeirntahan sehari-hari? Demikian pula, apakah Sang Wapres mampu menempatkan dirinya, sanggup menjadi tokoh utama tanpa merebut panggung nomor satu, tanpa menjadi matahari kembar?
Apakah wapres sanggup menjaga loyalitas tegak lurus, sehingga oleh Sang Presiden dianggap sebagai aset, bukan ancaman?
Semuanya tergantung pada chemistry, kematangan pribadi, tingkat kepercayaan, serta lingkungan dan tim inti di sekitar presiden dan wapres.
Kita berharap bahwa tokoh-tokoh yang terpilih nanti adalah putra atau putri terbaik Indonesia. Semoga mereka akan sanggup bekerja sama, menjadi dwitunggal yang memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.

Viva News, Kamis, 8 Mei 2014, 14:12 WIB
Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/502905-wakil-presiden–hanya-pelengkap-

Sikap Politik Mahasiswa

0

Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang menjunjung tinggi idealismenya. Orientasi nilai-nilai idealisme itu dibuktikan dengan peduli terhadap kepada problematika yang ada di sekelilingnya termasuk pemilu legislatif (kemarin) dan pilpres pada tanggal 9 Juli 2014 nanti.
Mahasiswa harus menunjukkan sikap politiknya yang netral tetapi tetap mewarnai perkembangan politik yang memberikan suara kebenaran dan menjadi problem solver serta kontrol sosio-politic yang ada. Mahasiswa selama ini dikenal dengan the moral force dan agent of social change harus kita pegang terus, kita harus menciptakan hegemoni politik baru dengan ikut turut memberikan wacana kepada masyarakat terkait siapa pemimpin yang harus kita pada pemilu nanti.
Sikap mahasiswa yang netral sejatinya menolak politik money yang membuat hiruk pikuk perpolitikan Indonesia menjadi buruk, tugas seorang yang netral hanya memberikan wacana dan suara pembaharuan tetapi tidak ikut menentukan sikap masyarakat dan ikut kepada sistem politik yang bias negatif.
Saya tidak khawatir sekalipun partai tertentu masuk ke dalam kampus yang tujuannya mahasiswa dijadikan alat penggelembungan suara, karena saya yakin mahasiswa akan netral selagi menjunjung tinggi sikap politik mahasiswa yang netral tersebut. Jika ada mahasiswa yang tidak bersikap netral maka kemahasiswaannya perlu dipertanyakan, mahasiswa menjadi agen perubahan dan bukan alat politik partai tertentu.

Partai Islam Bersatu

0

Menjelang kemerdekaan RI, akhir dasawarsa `30-an, terjadi kecenderungan persatuan di antara partai-partai berhaluan kebangsaan, khususnya di kalangan yang berhaluan ko-operator secara demoratis, guna memperjuangkan terbentuknya negara Indonesia berparlemen. Tetapi, di antara gerakan sosial keagamaan Islam, khususnya kalangan ulama, terjadi kecenderungan ke arah persatuan yang menghasilkan Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) tahun 1937.
Pada masa akhir pendudukan Jepang, atas prakarsa pemimpin gerakan sosial keagamaan dan ulama, terbentuk partai politik Islam bersatu yang merupakan penggabungan dua kelompok yang diprakarsai Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Jawa dan antara Muhammadiyah dengan Majelis Islam Tinggi di luar Jawa. Gabungan kedua kelompok itu disebut “Masyumi” singkatan dari “Majelis Syura Muslimin Indonesia”.
Tetapi, sesudah kemerdekaan, dibentuk partai nasionalis bersatu yang disebut “Partai Nasional Indonesia” (PNI), sebagai partai tunggal di bawah kepemimpinan Sukarno-Hatta yang juga menjadi presiden dan wakil presiden RI. Partai ini sesungguhnya kelanjutan gagasan persatuan semua partai yang memperjuangkan kemerdekaan, sejak 1927 hingga sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dengan lahirnya Maklumat Wapres No X/1945, 16 Oktober 1945 yang memberikan kesempatan bagi rakyat mendirikan partai-partai politik maka pada 7 November 1945, terbentuk Partai Masyumi, yang merupakan gabungan semua organisasi gerakan sosial-keagamaan Islam. Masyumi pada awal kemerdekaan itu adalah satu-satunya partai politik Islam yang dipimpin Dr Sukiman Wirjosandjojo, mantan ketua Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Tapi, partai ini pecah kembali dengan keluarnya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), tahun 1947, yang diikuti Nahdlatul Ulama yang menjadi partai politik tahun 1952.
Setelah bubarnya Masyumi tahun 1960, di awal Orde Baru politik Islam terpecah menjadi 4 partai, yaitu Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Dalam rangka penyederhanaan partai maka ditambah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bukan partai politik itu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973 dibentuk secara paksa oleh Pemerintah Orba.
Setelah jatuhnya Orba tahun 1998, di masa reformasi, sejalan dengan timbulnya partai-partai politik baru, maka gerakan politik Islam kembali melahirkan beberapa partai Islam. Yang saat ini, memiliki perwakilan terbesar di DPR adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dalam pemilihan umum 2004, partai-partai Islam memperoleh 38,25 persen suara. Tetapi, pada Pemilu 2009, perolehan partai-partai Islam menurun menjadi 28,62 persen. Berdasarkan suatu survei, pada Pemilu 2014 elektabilitas partai-partai Islam menjadi satu sekitar 13 persen saja. Dengan demikian, tampak kecenderungan melenyapnya partai-partai Islam dalam Pemilu 2019 nanti.
Kecenderungan itu menimbulkan kerisauan di kalangan umat Islam sehingga timbul gagasan “memompa ban gembos”, sebagaimana pernah dilakukan Nurcholish Madjid terhadap PPP pada Pemilu 1977. Masalahnya adalah mengapa gerakan Islam politik harus menghilang dalam masyarakat Muslim terbesar di dunia, yang sebenarnya merupakan aset nasional Indonesia dan dalam pergaulan internasional. Islam politik Indonesia memang telah gagal memperjuangan gagasan negara Islam. Teta pi, apakah kegagalan itu harus berlanjut dengan bubarnya Islam politik dari bumi Indonesia?
Mungkin gejala itu adalah akibat stigmatisasi negara Islam sebagai kelompok politik ekstrem kanan, sebagaimana PKI adalah kelompok politik ekstrem kiri. Tetapi, Islam politik di Indonesia telah mengalami perubahan dan perkembangan ke arah moderasi menuju demokratisasi, sehingga prospeknya ada lah lahirnya sebuah “Partai Demokrasi Islam” (PADI), dalam gagasan Bung Hatta awal tahun `70-an yang ditolak ke hadirannya oleh rezim Orba.
Karena itu, menjelang Pemilu 2014, timbul gagasan mempersatukan partai- partai Islam menuju pembentukan sebuah “Partai Demokrasi Islam” disingkat PADI. Gagasan penyatuan partai-partai Islam itu berkaitan dengan prospek penyederhanaan struktur kepartaian di Indonesia dalam rangka bergeser dari Demokrasi Liberal ke arah “Demokrasi Pancasila”. Demokrasi seperti disebut da lam Pembukaan UUD 1945 yang pada hakikatnya adalah “Demokrasi Musyawarah” sebagaimana diwacanakan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas tentang konsep “Deliberative Democracy”.
Dalam teori komunikasi Habermas, disebut adanya dua macam komunikasi berdasarkan tujuannya. Pertama yang berorientasi pada “sukses”, yaitu memenangkan pendapat dalam persaingan politik demokrasi liberal. Kedua, orientasi pada penemuan pendapat lain yang justru berbeda tapi mungkin lebih baik.
Tapi, sebenarnya ada satu orientasi lain yang tidak disebut Habermas, yaitu orientasi pada pencarian kesepakatan di antara pendapat yang berbeda yang dalam istilah Indonesia adalah “musyawarah mufakat” berdasarkan hikmah kebijaksanaan permusyawaratan yang lebih mendekati gagasan Habermas.
PADI adalah sebuah Partai Islam yang didasarkan pada demokrasi musyawarah tersebut di atas dengan mengasumsikan pluralitas masyarakat dan dunia politik Indonesia. Oleh sebab itu, platform politik yang akan dibawakan PADI pertama-tama adalah agenda kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip demokrasi musyawarah dalam pemerintahan dalam suatu negara RI yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kebebasan Beragama (pasal 29 ayat 1 dan 2).
Orientasi ketiga dalam pembentukan PADI adalah menciptakan suatu model Islam politik yang demokratis bagi dunia Islam. Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. Tetapi, RI bukanlah negara Islam dan Islam bukan agama resmi negara. Islam Indonesia sering dianggap model yang bisa menjadi acuan bagi dunia Islam, walaupun menurut Hillary Clinton masih bercirikan dua aspek saja, yaitu demokrasi dan prin sip kesetaraan gender. Menurut Zuhairi Misrawi, Islam Indonesia adalah “Islam Moderat” sesuai dengan gambaran Alquran, yaitu “ummatan washatan” (QS Ali Imran (#): 110). Terbentuknya PADI yang mengacu pada gagasan Bung Hatta itu, akan mengongkretkan model Islam politik bagi dunia Islam.

M Dawam Rahardjo; Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
REPUBLIKA, 04 April 2014
Sumber: http://budisansblog.blogspot.com/2014/04/partai-islam-bersatu.html

Robin Hood dan Negara

0

Pekan lalu (21-23 Maret 2014), atas nama Yayasan Denny J.A., saya ke Malaysia guna memenuhi undangan kawan-kawan IDEAS (Institute for Democracy and Economic Affairs) untuk acara Regional Liberal Colloquium. Pertemuan ini dihadiri kawan-kawan Malaysia, Singapura, Indonesia, India, Amerika, dan Jerman. Tak banyak, cuma 13 orang. Di Kuala Lumpur, kami berbincang ihwal kebebasan, keadilan, dan kesetaraan, berdasarkan refleksi dan pengalaman masing-masing kami. Esai ini ingin berbagi oleh-oleh dari negara jiran itu dalam bentuk renungan.
Permenungan yang saya kira relevan adalah soal apa itu negara, untuk apa dia ada, dan bagaimana dia bekerja. Topik ini saya kira penting, karena menjelang pemilu, kita menyaksikan begitu banyak orang yang “peduli” mengurusi negara dengan cara memperebutkan posisi-posisi kuncinya. Kita kini sedang menyaksikan kampanye masif dari para calon anggota legislatif maupun calon presiden. Semua mengumbar janji bla-bla-bla jika kelak berkuasa memimpin sebuah negara. Namun apakah itu negara?
Menurut filsuf liberal-klasik asal Prancis, Frédéric Bastiat, yang renungan-renungannya menjadi bahan bacaan kami dalam pertemuan itu, negara pada hakikatnya adalah “entitas yang dikhayal-agungkan banyak orang demi menopang hidupnya dengan tanggungan pihak lainnya” (the state is the great fictitious entity by which everyone seeks to live at the expense of everyone else). Menurut dia pula, negara yang baik adalah negara yang bekerja bak polisi pamong praja (common police force). Fungsinya hanya menjamin tidak dijarahnya harta-benda siapa pun warga negara, seraya berupaya mewujudkan keadilan dan keamanan.
Bagi Bastiat dan umumnya kaum liberal, negara merupakan setan yang tak dapat ditolak (necessary evil) dan karena itu mesti berfungsi minimal saja. Ini berbeda dengan rumusan kaum maksimalis yang menggantungkan banyak harapan kepada negara. Pada kaum maksimalis, negara dituntut mengendalikan ekonomi, menjaga keamanan, meningkatkan kesehatan, mengendalikan kemacetan, mengindahkan kesenian, bahkan menguatkan keimanan. Mereka lupa, negara selalu punya dua tangan: tangan kasar (rough hand) yang pasti mengambil, dan tangan lembut (gentle hand) yang terkadang memberi.
Merenungkan Bastiat, saya membayangkan negara bekerja bagaikan Robin Hood yang mencuri untuk dapat memberi. Tatkala dua tangan itu bekerja, tentu ada saja pihak yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Sebuah negara mungkin saja masih sehat bila aksi pencurian ala Robin Hood itu masih menguntungkan khalayak banyak. Yang celaka adalah bila negara justru menyengsarakan semua, baik akibat salah kelola atau tak bekerjanya mekanisme Robin Hood dengan saksama dan bijaksana.
Nah, menjelang Pemilu, kita menyaksikan aksi-aksi berbagi dan memberi yang diumbar para calon penyelenggara negeri. Namun sadarkah kita dari mana mereka mengambil agar kelak mampu memberi? Seberapa banyak mereka mengambil dan berapa porsi kelak mereka berikan? Kampanye memang musim bermurah hati, tapi kita perlu pula mencurigai janji-janji semanis madu dan lagak-tingkah seputih susu. Sebab, dalam politik, hampir mustahil membayangkan langkah-langkah tanpa pamrih. Para politikus bukanlah orang suci atau para nabi yang terus dibisikkan Tuhan agar “jangan memberi dengan harapan mendapat lebih!” (QS al-Muddatsir: 5).

Tempo, Senin, 07 April 2014 | 00:04 WIB
Sumber: http://www.tempo.co/read/kolom/2014/04/07/1253/Robin-Hood-dan-Negara

Truth About April Fool’s Day And Muslim Representative Method of Scientific Inquiry

0

An email often goes around that warn Muslims again April Fool observation by claiming that this tradition originates from the event of Christians victory over Muslims in Andalusian Spain. It proposes that Europeans made fool of Muslims by introducing Liquor and Tobacco to them and thus gradually weaken them through its indulgence. The author busts the myth with correct version of history and common sense and explain the origin of April Fool’s Day.
I never knew that 1 April 2007 would be a day of reckoning, in a dubious style though. As a child I might have played the fool on the fool’s day by saying what I would believe was funny to someone I loved – like my brothers and sister. Nobody stopped me from those innocent escapades, for they were perhaps as innocuous, or as harmful, as watching an occasional movie – ordinarily at an interval of six-seven months – like Sohrab Modi’s “Pukar”, or Mehboob Khan’s “Humayun”, or Nanubhai Vakil’s “Hatim Tai”. But in later years the April fun did not amuse us older children any longer as we found the annual practice very boring. Gradually I realized that not many people around me were taking April Fool’s Day seriously: rarely anyone would try to make fun of gullible peers. This year, however, the day of fools dawned out of blue. I was astonished to know that some educated Muslims believed that the European tradition of All Fools Day was, in their view, to celebrate the fall of Spain’s last Muslim principality of Granada. What a funny story, I said to myself.
I don’t know when this “belief” had crept into Muslim “knowledge bank”, but some friends informed me that this grapevine might have spread about 20-30 years ago that Granada fell to the Christian forces on 1 April and since then the Christians have been remembering this as the day when they had “fooled” the Muslims. And how did those Christians make fool of the Muslims? Well, as the story goes, they sent to Granada “spies” to first study Andalusian Muslims’ habits and life-style and then making them addicted to liquor and cigarette smoking in order to recapture Granada.
What a wonderful way of winning battles and capturing countries. May I divulge the secret that most of the modern Spaniard drink alcohol and many of them smoke cigarettes too.
Do the Christians really believe that Muslims are and were stupid and they were easy prey to be made fool of? Even if such Muslim stupidity was really the primary cause of the loss of Andalusia in 1492, aren’t they showing a greater degree of imprudence now in 2007 to remind the Christian masses to mark April 1 as the day of Muslim foolishness with increased passion?
Nevertheless, rumors being circulated in the cyberspace on this issue point to two other dimensions: one academic and the other ethical.
Morally, no doubt, it is uncivilized to make fool of a normally intelligent person. From a Muslim perspective, too, it is unethical as a celebration, whatever its provocation, even if the prank is as harmless as telling someone his shoestring is untied. From this same perspective, it is all the more disgraceful as this practice encourages people to tell a lie, even if they are innocuous. Every Muslim may sometime refer to a Hadith of the Rasool-Allah, sall-Allah-u alaih-i wa sallam, and must be aware that Hadith scholars do not entertain a report from a liar. For a Muslim, therefore, it is the greatest punishment to be excluded from reporting a statement of the Rasool-Allah. Therefore, if the claim that April Fool’s Day is connected with the fall of Andalusia is untrue and historically unfounded, a narrator of this claim stands the risk of being disqualified of quoting from the Prophet Muhammad.
Academically, the issue requires investigation in order to ascertain the claim. When I rejected this claim on a Net-group, I was told by one friend hailing from Deoband, India, that he first heard this in his home-town in his childhood, and later in Aligarh, where the “misinformation was corrected at a gathering by a lecturer of Islamic Studies”. It is important to note that in Deoband – unlike Aligarh – it was not any professor or someone else connected with the Darul Uloom, but an ordinary townsman who would tell his nephew that the custom was about the fall of Muslim Spain. The narration might have been unforgivable if it was attributed to a teacher of Darul Uloom Deoband. But then the Ulama engaged in teaching Hadith and Tafseer know well what to report and what to trash.
Another friend, Mustafa Kamal Sherwani, a law professor in Tanzania, informed me in another email that when he was doing LL.M. at Aligarh Muslim University, some students did some activity on April 1 to a senior professor in the Faculty of Law. The discomfited professor then scolded the ill-behaved students and narrated the same Andalus story about April Fool.
While making fun of a teacher is highly uncultured and deplorable, this Aligarh incident suggests the cancer is quite widespread. What is more painful is that even some modern Muslim scholars, having a discernible disinterest in scientific inquiry, would carelessly circulate disinformation which the less-informed or uninitiated public accept as truth coming as it does from supposedly learned people. This lack of interest in ascertaining the truth is unacceptable among the descendants of those who collected Hadith, checked the life and habits of every single narrator – numbering in thousands – evaluated every single statement on the basis of riwayah (the chain of narrators) and dirayah (contextual examination and logical/intellectual scrutiny) before writing it down in an authentic Hadith compendium. Today’s lackadaisical attitude about judging and analyzing reports is deplorable among the successors of those early scholars who had laid the foundations of modern epistemological order. Those were the persons whose consummate analytical prowess resulted in the emergence of about 26 systems of codified Islamic laws in the form of highly respected, admired and followed Fiqh schools, and set rules for academic inquiry that paved the way for advancement in philosophical theories and applied sciences.
But then this is what it is: Muslims seem to have stooped so low intellectually and academically as to believe in hearsay as historical truths!
I wish that the e-message about April Fool’s Day was not written by a Muslim, worse if it was an April Fool’s Day prank. It is a case of misinformation and a demonstration of abject ignorance of people pretending to be learned, innocent and pious, all at one and same time but being none of them.
A little insight into history tells a different tale about a Euro-Christian festival of foolishness.
To begin with, Spain’s last Muslim statelet of Granada, encompassing Almeira and Malaga as well, was lost not on April 1, as claimed by those who have been fooled by their ignorance of history, but on January 2, 1492. Referencres can be made to historians and encyclopedias, or at least Spanish tourism websites like http://www.spanish-fiestas.com, etc. Spain Travel Newsletter, for example, says: “On January 2nd 1492 Los Reyes Catlicos (The Catholic Monarchs – namely Isabella and Ferdinand) marched into Granada and the last stronghold of Moorish Spain came to an end”. According to cyber-encyclopedia Wikipedia, “On January 2, 1492, the last Muslim leader, Muhammad XII, known as Boabdil (Arabic: Abu Abdullah) to the Spanish, surrendered complete control of Granada, to Ferdinand and Isabella, Los Reyes Catlicos, (The Catholic Monarchs – the title given to the couple by Pope Alexander VI), after the city was besieged”.
“December had nearly passed away. The famine became extreme, and Boabdil determined to surrender the city on the second of January,” says M B Synge, in an article titled “Brave Men and Brave Deeds”, which is published by The Baldwin’s Project.
Vincent Barletta of University of Minnesota says in an article “About the Moriscos” (post-Granada nomenclature for Spanish Muslims, intended to belittle the Moors), with reference to ‘The Legacy of Muslim Spain’, edited by Salma Khadra Jayyusi: “The Catholic Monarchs decisively put an end to over eight centuries of sporadic Christian Reconquest in January of 1492. They achieved this by finally taking by military force the isolated and very vulnerable Nasrid Kingdom of Granada”.
A Bangladeshi-American Muslim, Mohammad Abdullah, in a “Rejoinder to Columbus and America” , an opinion article in “News from Bangladesh”, of August 15, 2006, writes: “Regarding the fall of Granada, it is true that in early 1492 (possibly end of January) Isabella and Ferdinand’s army captured it but it was not completely conquered. … Several small pockets around Granada were still unconquered, and insurgency erupted which was totally demolished in October 1492. … At that time Isabella and Ferdinand began to sleep in peace”.
All, except one, of these historians are Europeans or Christians and none of them records the fall of Granada on April 1. Therefore, logic demands that if Christians really wanted to celebrate foolishness of Muslims, a suitable date was the New Year’s Day – 1 January – rather than 1 April.
It is not surprising that the Spaniard remember the exact date when they retook the last Muslim statelet in Andalusia, but it is strange that even the educated Muslims do not know the date of their last major defeat in a country which they love so much that Iqbal’s best poem, Masjid-i Qurtuba, came only thanks to our Andalusian nostalgia.
One cannot be so nave as to believe that Christians needed to send “spies” to Muslim Spain to study Muslim life-style and based on those studies worked out a strategy about exporting alcohol and “cigarettes” (sic) in order to corrupt Muslims and retake Andalusia. In Spain Christians and Jews lived in a mixed, pluralistic society under Muslims and they were well aware of Muslim life-style, many of them even emulating it.
Turning to alcohol, it was not unknown to Muslims. The Qur’an mentions it as impure and harmful. And cigarette was not yet invented when Isabella and Ferdinand were planning to take over Granada in the 1480s. In fact, tobacco itself was not yet known to the Europeans. Nonetheless, Reconquista was not so easy as to have been accomplished by making Andalusian Muslims addicted to smoking cigarettes. It took almost 500 years of ceaseless Christian military campaigns in spite of anarchy and dispersion of power that had prevailed in Muslim Spain since the fall of Andalusia’s Umayyad dynasty in 1031 CE, and 11 years of cleverly crafted strategy of Ferdinand-Isabella team to unseat an incompetent Muslim monarch.
David Nicolle writes in “Granada 1492”, a well-documented study of the last 11 years of Muslim rule in Spain, that the forces of Granada’s last Muslim king Abu Abdullah (Boabdil) Muhammad XII were “no match” to the might of the Spanish royal army that was “revitalized and lavishly equipped with modern artillery”. However, Nicolle adds that “despite this mismatch of strength it took 11 years of hard campaigning before the Spanish troops could bring their guns to bear on the walls of Granada”.
As for tobacco-smoking, according to historians, it did not begin in Europe before the nineteenth century, when it was enjoyed by “gentlemen only” in the form of cigars. Cigarettes (literally meaning small cigars), which were “basically the sweepings off the floor of the cigar factory, were only smoked by the very poor” and their mass production began only in the 1880s – almost 400 years after the fall of Granada.
Historically, there is no indication of habitual tobacco use in the Ancient World, on any continent save the Americas. During his two voyages in 1492 and 1493, Columbus and his sailors became the first Europeans to see tobacco in South America. In his diary for 12 October 1492, Columbus writes, according to tobacco historian Gene Borio, that on the beach of San Salvador Island or Samana Cay in the Bahamas, or Grand Turk Island, the indigenous Arawaks offered gifts which included fruit, wooden spears, and certain dried leaves which gave off a distinct fragrance…. “The fruit was eaten; the pungent ‘dried leaves’ were thrown away”, writes Columbus.
In 1498, Columbus visited what he named as Trinidad and Tobago, “naming the latter after the native tobacco pipe”, says Borio.
Borio further records in “The Tobacco Timeline” (www.tobacco.org), that Christian monk Ramon Pane had accompanied Columbus on his second voyage in 1493 and he described the New Worlders using snuff and inhaling smoke “through a Y-shaped tube”. Borio says Pane was “the first man to introduce tobacco to Europe” in the closing years of the fifteenth century.
France had come to know of tobacco in the mid-16th century, but according to Wikipedia, Europeans believed then that the use of tobacco was good “to cure ulcers and heal wounds along with other such benefits”. Christians would not allow this “useful medicine to infidel Moors”. To make things easy to understand, Encyclopadia Brittanica records that French Admiral Gaspard II de Coligny, a Huguenot (Protestant) leader, “supported a war in the Low Countries (southern France) against Spain as a means to prevent a resumption of (France’s Catholic-Protestant) civil war”.
Even if there is a historical reference to the use of tobacco as a weapon in France’s hostilities against Spain, one may be reminded that Admiral de Coligny’s proposal to engage Spain in a war came in the 1570s, about 80 years after the end of Spain’s last Muslim regime.
These historical records offer evidence that tobacco was unknown to the world before Columbus’s voyages. And Columbus reached the shores of South America nine months after the fall of Granada. Therefore, this negates the claim that cigarette was used for ending of Muslim rule in Spain.
Those who have a little understanding of history know well that the European Christians regarded Andalusian Muslims as “infidel” but did not consider them “fools” to be ridiculed even on a particular day in the year. Even today, extremist Christians or Westerners may dislike Muslims, but they do not denounce them as stupid people. On the contrary, they recognized Muslims’ superior intelligence, and did save a few books, by risking their own lives, from the raging “bon fires” (meaning good fires) stoked every night by Spain’s Cardinal Ximenes, who had full personal support of Isabella, and perhaps Ferdinand. These books written by Muslim scientists, philosophers and jurists – most of them burnt and destroyed by Ximenes and his subordinate priests – would not have been translated into Latin, Dutch, French, and English if Europeans had thought Muslims were fools.
April Fool’s Day or All Fools Day is in fact connected to the Old World’s New Year celebrations. In olden times in the Roman Empire, New Year of the Julian calendar would fall on April 1 and the weeklong celebrations would begin on March 25, culminating on what was recognized as the First Day of Spring, April 1. Not surprisingly, this compares with today’s weeklong celebrations beginning on December 25 and culminating on January 1 under the reformed Gregorian dating system.
The “most probable time” accepted as the beginning of April Fool’s Day tradition was in 1582, according to Jerry Wilson, an American science teacher and newspaper columnist who specializes in US tobacco industry. In the early 1570s, he says, France’s King Charles IX (reigned 1561-1574) adopted the Gregorian dating system and sent out orders around his kingdom (Iberian Peninsula, including Granada, was outside Charles IX’s realm) to change the New Year’s Day from April 1 to January 1. Jerry Wilson underscores a common European lore that in those days when mail in Europe was still carried by footmen, many people did not receive the news for several years. “Others, the more obstinate crowd, refused to accept the new calendar and continued to celebrate the New Year on April 1. These backward folk were labeled as ‘fools’ by the general populace. They were subject to some ridicule, and were often sent on ‘fools errands’ or were made the butt of other practical jokes”. It is common knowledge in Europe that this change in the dating system, says Wilson, “is where we get April Fool’s Day”.
It may be noted that Slavic people of Eastern Europe, denominationally known as (Russian) Orthodox Christians, still do not accept Gregorian dating system and continue to mark their religious ceremonies like Christmas and Easter according to the Julian calendar, named after Rome’s Julius Caesar.
It appears that Rome’s pre-Julian New Year’s Day actually fell in March, to mark summer equinox on March 20 or 21, which was originally dedicated to Ishtar, the pagan Semitic (not Jewish) goddess of fertility. Ishtar’s festival would mark the advent of Spring, the time of new harvests. Ishtar was worshipped in ancient Sumeria (part of Syria) and Babylonia (part of Iraq). Astarte and Esther are alternative names for Ishtar (Arabic letters: ayn, sheen, ta, alif, ra). Early Christians who had made Rome as their religious focal point, had adopted many Roman and pre-Rome pagan rites, rituals and festivals, among them the Festival of Fertility, which was probably adopted by the Romans as a result of their political and economic contacts with West Asia. Another theory is that the lore of Ishatar was brought to Rome and rest of Europe by early Christian immigrants from West Asia. Interestingly, the Anglo-Saxons of British Isle also had the “spring goddess” they called Eostre.
Christian sources like the Dictionary of the Encyclopedia Britannica recognize that the festival of Easter, marked in March-April, actually has its roots in this Semitic festival of Ishtar. This explains the traditions of Easter Eggs, symbols of fertility, and Easter Bunny, the rodent known for a high rate of procreation and its re-emergence from the holes as snow begins to melt in March and green leaves begin to sprout again on denuded tree branches in cold climes of Europe. The Anglo-Saxon Eostre also had the hare and eggs as icons of Easter, “because both of them were regarded to be emblems of fertility”.
Here it may be of some interest to note that even though Pope Gregory XIII (1572-1585) moved the Christian New Year to January in order to identify it with what Christians believe is birth-date of Jesus Christ, apparently doing away with a pagan Semitic ritual of the advent of Spring, the earlier celebration still retained religious sanction in the form of Easter. Also, Gregory XIII, who began his papacy 80 years after the fall of Granada, did not give new names to the months identified with Roman deities like Mars (March) and Juno (June), and Roman dictators such as Julius Caesar (July) and Augustus Caesar (August). It is understandable that a pope living under the Roman empire, was loath to or scared of christening months named after earlier emperors and deities, but ironically, he did not give thought to the names of four month which still sound ridiculous to the knowledgeable: the ninth Gregorian calendar month is called September which literally means Seventh (newspapers often report that a sept-uagenarian is a person in his/her seventies), tenth month is still known as October (meaning Eighth – and a schoolchild knows that an eight-point geometric pattern is called an oct-agon?), eleventh month remains to be November (meaning Ninth) and the twelfth month is still called December (linguistically meaning the Tenth – people may recall dec-imal point, or dec-ade, that’s ten-year period, to understand the meaning of Dec-ember). These names indicate that the Romans, being proud warriors, would start their year from March 1, named after their god of war, who was actually a carbon image of earlier pagan Greek god of war, Ares.
Now, how should a Muslim behave in dealing with matters like this?
Only illiterate or ignorant people having no civilizational tradition of academic and scientific inquiry would spread hearsay without caring to check the facts. But ignoring the facts is not a modern Muslim tradition only. Even though today’s Muslims are a far cry from what their illustrious ancestors had been, they are apparently influenced by the prevailing order: this approach of pseudo-scholarship is not an attribute of Muslims alone. This is given currency by the modern media – radio and television channels, newspapers and magazines – that may gleefully disseminate any untruth or pretty obvious falsehood with little inclination to verify the details, provided the error is unintentional. I recall just one example: The day India’s prime minister Rajiv Gandhi was assassinated I was visiting the US city of Boston. The next morning’s Boston Globe newspaper, a widely read and “respectable” national daily of the United States, reported in an “obituary-cum-news analysis” that Rajiv Gandhi was son of Indira Gandhi (right) and grandson of Mahatma Gandhi (?) and first prime minister of India! Traces of this culture are sometimes detectable in modern academia, too, especially in times when they are serving interests of multinational or other corporations. After all they need funds for research which can be conveniently oriented to suit corporate interests of the engines of the global economy.
As against this, Muslim academic culture of the yore would not allow any doubtful piece of information to spread before all narrated facts were thoroughly checked and tested on the anvil of logic as well as Islamic tenets and belief system. The last reporter in the chain would check the trustability of each and every single preceding reporter if the report passed through more than one narrator. This led to the initiation of the science of biography, Islamically called Ilm Asma ar-Rijal, the Science of the Names of Men. This style of scientific inquiry is the legacy of Muslims. Today’s “reporters” who carelessly post and “discuss” unproven statements are in no way representatives and successors of those who had initiated and instituted the science of scientific investigation just when Muslims were about to be driven out of Spain, sociologically speaking. Nonetheless, the world still expects Muslims to be the most authentic when they report some facts.
Reacting to the inane cyberumor about April Fool’s Day, a Black American Muslim, Abdul-Halim V, has rightly remarked on Planet Granada blog: “…sometimes I get the feeling that as a group, Muslims need to develop a lot more critical-thinking and need to learn not to pass on everything we hear from so-and-so as the truth”.

Author Profile
Muhammad Tariq Ghazi, based in Ottawa, Canada, is a veteran journalist and historian. He has been editor of several Urdu and English newspapers and journals published from India and Saudi Arabia. He is author of ‘The Cartoons Cry’, a book on the blasphemous Danish cartoons. He can be contacted at tariqghazi04@yahoo.ca

MMG (Muslim Media Group)
http://www.indianmuslims.org/jsp/articles/articles.jsp
Sumber: http://www.irfi.org/articles/articles_901_950/truth_about_april_fool.htm

INILAH 9 REKOMENDASI HASIL KONFERENSI ULAMA INTERNASIONAL

0

HASIL KONFERESNSI INTERNASIONAL ULAMA DAN CENDIKIAWAN MUSLIM
DI PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI’IYAH
SUKOREJO SITUBONDO JAWA TIMUR
SABTU- AHAD, 29-30 MARET 2014 M / 27-28 JUMADIL ULA 1435

hasil rekomansi konferensi ulama internasional

PENDADULUAN
Umat islam sedang ditimpa krisis multidimensi. Kita telah saksikan dan sedang menyaksikan banyak gejolak dan konflik yang menyebabkan pertumpahan darah umat manusia, seperti konflik yang terjadi di Tunisia, Libya, Mesir, Syria, dan Irak. Di antara faktor yang menyebabkan ketegangan dan konflik adalah egoisme kelompok, fanatisme golongan dan faksi-faksi orientasi politik, sehingga tidak pernah dapat dilakukan penyelesaian masalah dengan cara dialog yang fair dan terbuka, maka kondisi tersebut dimanfaatkan oleh musuh-musuh umat islam
Krisis multi dimensi ini selanjutnya dapat mencabik-cabik keutuhan umat Islam dan menghancurkan kekuatannya. Maka diperlukan upaya para Ulama dan Cendikiawan Muslim untuk membimbing dan membina Umat Islam dengan cara menyebarkan pemikiran Islam yang moderat untuk membentuk generasi yang konstruktif, sehingga dapat menyelesaikan masalah perbedaan dengan cara dialog.
Pada situasi dan kondisi yang sedang terjadi, maka bertepatan dengan memperingati Satu Abad (100 tahun) hari lahir Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, kabupaten Situbondo Jawa Timur pada penyelenggaraan Konfrensi Internasional Ulama dan Cendikiawan Muslim (INTERNASIONAL CONFRENCE OF ISLAMIC SCHOLARS) dengan tema: “PENGUATAN JARINGAN ANTAR ULAMA DAN CENDIKIAWAN MUSLIM UNTUK MENEGUHKAN NILAI-NILAI ISLAM MODERAT” menyampaikan pokok-pokok pikiran dan rekomendasi sebagai berikut :

1. Kita sepakat yang dimaksud moderasi disini adalah suatu kebenaran diantara dua kebatilan, dan suatu kebaikan diantara dua keburukan. Sikap moderasi dimaksud untuk bisa dilakukan oleh setiap individu dalam pemikiran, akhlak dan prilaku, serta segala tidakannya, guna melestarikan kebagikan individu maupun kelompok masyarakat, dengan tanpa adanya radikalisme atau liberalism. Moderasi disini juga diartikan menyepakati segala nas dalil dan sendi-sendi Agama yang sudah qothi (pasti), dan mentolerir nas dalil yang debatable (mukhtalaf fih). Dan, memegang teguh pada metode yang benar, adil serta rahmat untuk menjaga toleransi dengan tanpa ada tekanan maupun menekan pada kelompok lain dalam segala lini kehidupan.
2. Moderasi pemikiran, yaitu suatu ide yang menyakini puritansi nas-nas agama dalam satu sisi, serta meyakini adanya korelasi nas suci dengan keadaan waktu dan tempat. Kemudian tugas bagi para ulama dan umat Islam adalah memberikan pemahaman arti nas suci tersebut pada tataran praksis, baik dalam masalah syari’at politik, budaya, kemasyarakatan maupun ekonomi. Ajaran Agama Islam termaktub dalam kumpulan teks suci yang tidak memberi arti dan tidak pula memberi kebaikan dan rahmat, kecuali adanya orang yang menerjemahkan dan mengaplikasikannya, sehingga terwujud perwujudan nas suci menjadi realita yang membawa rahmat. Dari sinilah Allah SWT berfirman: Bukanlah kami mengutusmu (muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Kita ketahui bersama bahwa aqidah Ahl Al-Sunnah wa Al-jama’ah adalah aqidah yang moderat dan mampu sebagai perekat segenap umat Islam.
3. Moderasi dalam upaya penerapan syari’ah. Yaitu menjauhkan sikap kekerasan dan berlebihan. Dari sinilah bisa difahami, sesungguhnya Islam adalah agama damai dan rahmat, jauh dari sifat radikalism maupun liberalism. Selalu berpegang pada prinsip: menegakkan kebaikan dengan sikap baik, dan melarang kemungkaran dengan tanpa kemungkaran
4. Moderasi dalam bertoleransi. Yaitu memaklumi dan mentolerir adanya eksistensi agama-agama lain dalam suatu Negara. Sebab multi Agama dalam kehidupan adalah sunnatullah (keniscayaan). Kita menteladani sikap Rasullah SAW dalam piagam Madinah, yaitu mengakui atas eksistensi multi Agama dan Etnis seperti Ahlul Kitab sebagai kelompok masyarakat. Kita akan bersikap sebagaimana Firman Allah: hai orang-orang yang beriman, bagimu atas dirimu sendiri, tidak ada yang membahayakan bagimu orang yang sesat, bila telah engkau beri petunjuk.
5. Moderasi dalam berpolitik, yaitu penguatan terhadap teori demokrasi dan hak asasi Manusia. Islam tidak hanya mengajarkan demokrasi dan hak asasi Manusia, tetapi sebuah konsep yang Universal, dengan menghargai sikap demokrasi dengan konsep syuro, dan menempatkan kedudukan manusia dan hak-haknya pada tempat yang hakiki.
6. Moderasi di dalam pendidikan dan pengajaran. Yaitu peningkatan pendidikan bagi umat Islam dari semua disiplin ilmu. Umat Islam sedang mendapat tantangan dalam bidang ilmu, teknologi dan informasi. Desebab realitanya, kaum terpelajar dan terdidik dengan kualifikasi ilmu yang mewadahi tidak sebanding dengan jumlah umat islam. Maka kita harus menyiapkan kader yang kompeten sehingga mampu berkompetisi.
7. Moderasi dalam ekonomi. Yaitu menyajikan alternative peningkatan kesejahteraan bagi umat islam dengan sistem ekonomi yang sesuai syari’ah. Agama Islam selalu mendorong pemeluknya untuk memperkuat ketahanan ekonomi untuk menegakkan agama. Namun kenyataanya kebanyakan umat Islam bereda dalam kemiskinan yang hanya sebagai penerima zakat bukan pemberi zakat. Sementara sistem perekonomian Dunia dikuasai oleh sistem kapitalis. Maka kewajiban ulama dan cendikiawan muslim untuk berperan aktif pada pengetasan kemiskinan dengan sistem ekonomi Islam.
9. Moderasi dalam tradisi dan budaya yaitu menyebarkan pemikiran moderat dengan sikap toleran. Sekarang ini kebanyakan nilai-nilai tradisi dan budaya terpasung pada politik praktis yang dikendalikan hawa nafsu yang mengakibatkan pada radikalisme dan liberalisme. Maka kewajiban bagi ulama dan cendikiawan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai pemikiran dan sikap moderat didalam mempertahankan tradisi, budaya dan selekta dalam menghadapi transnasional. Indonesia telah berhasil memberi pendidikan toleransi dengan pengajaran dan pembiasan di Pondok Pesantren.

Rekomendasi ini ditujukan kepada para Ulama’, Cendikiawan dan para pejabat pemerintah untuk melaksanakan keputusan ini dan menjaga jaringan antar ulama dan cendikiawan muslim dalam mengaplikasikan poin-poin hasil konfrensi tersebut.
Marilah kita memulai untuk memberikan pemahaman pada masyarakat, terhadap pemikiran moderat, sehingga tercapai pada penerapan pemikiran dan aplikasi perbuatan di setiap lini kehidupan, baik didalam permasalahan agama, politik, kemasyarakatan, ekonomi, budaya dll. Dengan pemikiran moderat ini, berarti telah menolak setiap pemikiran yang ekstrim dan liberal.

KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo)
DR. KH. A. Hasyim Muzadi (SEKJEN ICIS)

Sumber: http://www.muslimedianews.com/2014/03/inilah-9-rekomendasi-hasil-konferensi.html?m=1 & http://cyberdakwah.com/2014/03/inilah-9-rekomendasi-hasil-konferensi-ulama-internasional/