Koalisi: Tak Disukai Tapi Perlu

0

Jika anda bertanya pada seorang politisi, apakah senang dengan munculnya wacana koalisi partai, jawabannya kemungkinan besar negatif. Pada dasarnya politisi tidak suka berbagi kekuasaan. Kalau dimungkinkan, mereka ingin berkuasa sendiri tanpa harus direpotkan oleh pernak-pernik power sharing yang rumit. Bagi kaum politisi, koalisi merupakan keterpaksaan karena tidak ada alternatif yang lebih baik.
Yang menarik, kalau anda kemudian mengajukan pertanyaan yang sama pada rakyat kebanyakan secara acak, kemungkinan besar jawabannya juga sama negatifnya. Bagi kebanyakan rakyat, koalisi hanyalah permainan para politisi untuk membagi-bagi kekuasaan. Koalisi dianggap sebagai “politik dagang sapi,” tawar-menawar posisi, kedudukan, atau keistimewaan khusus lainnya. Rakyat curiga, dalam wheel and deal tersebut, kaum politisi mulai memikirkan diri mereka sendiri setelah menebar seribu janji dalam pemilu.
Ironis, bukan? Politisi tidak suka koalisi, karena kekuasaannya harus terbagi. Rakyat juga sami mawon, karena kuatir bahwa semua itu hanya kamuflase dari kepentingan untuk bagi-bagi posisi dan rezeki di kalangan politisi.
Bagi saya, dalam hal ini, persoalan dasarnya kembali ke rakyat kita lagi. Kita harus jujur mengakui bahwa rakyat Indonesia memang agak mendua. Di satu sisi, kecurigaan mereka memang sangat tinggi pada koalisi yang sedang dirumuskan oleh partai politik. Namun di sisi lain, rakyat memilih dan membagi kekuasaan secara hampir merata pada partai-partai peserta pemilu. Hasil Pemilu 2014, sebagaimana yang telah saya jelaskan di rubrik “Analisis” ini minggu lalu, memperlihatkan bahwa rakyat menghendaki adanya dekosentrasi kekuasaan. Tidak ada satu pun partai yang diberi kekuasaan secara dominan.
Terlepas dari ironi seperti itu, kenyataan yang harus dihadapi sekarang adalah keniscayaan untuk menggumpalkan, atau mengumpulkan, dukungan: koalisi boleh saja tidak disukai oleh semua pihak, tetapi ia tetap diperlukan, baik dalam memungkinkan berjalannya pemerintahan yang efektif, maupun dalam pengajuan dan pemilihan presiden dan wakilnya.
Dalam hal yang terakhir ini, mengenai pemilihan capres dan cawapres, prasyarat 25 persen suara nasional jelas tidak mampu dipenuhi, bahkan oleh PDIP yang meraih perolehan suara tertinggi. Karena itu yang dikejar sekarang adalah pemenuhan prasyarat lainnya, yaitu 112 kursi parlemen. Kita masih harus menunggu penghitungan suara yang sekarang sedang berlangsung ketat di berbagai daerah untuk melihat apakah PDIP dan Golkar mampu mencapai atau melampaui angka keramat tersebut.
Partai-partai lainnya sudah pasti tidak akan mencapainya, termasuk Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB yang berada di urutan 5 besar. Mereka harus membangun koalisi, mengumpulkan jumlah kursi yang memadai, agar bisa menjadi peserta dalam pemilu presiden pada 9 Juli nanti. Kalau tidak, mereka hanya akan menjadi penonton di pinggir lapangan.
Adapun mengenai PDIP dan Golkar yang berada di dua urutan teratas, kemungkinan koalisi juga agak muskil untuk dihindari. Esensi pemilu adalah pencarian atau pelebaran dukungan seluas-luasnya bagi capres dan cawapres mereka. Kuning, merah, biru, hijau, putih, jingga: apapun warnanya, Sang Kandidat pasti akan menyambut dengan tangan terbuka jika tambahan dukungan mereka mampu menaikkan elektibilitas yang dibutuhkan untuk memenangkan pilpres mendatang.
Jadi untuk memperbesar kemungkinan suara dan menjamin kemenangan dalam pilpres, koalisi adalah sebuah hal yang dibutuhkan oleh siapa pun.
Setelah menang dalam pilpres, koalisi tersebut bukan lagi sebuah kebutuhan, tetapi menjadi sebuah keniscayaan. Sang Pemenang harus menghitung dengan teliti berapa besar dukungan kursi yang dibutuhkan dalam parlemen untuk memastikan bahwa pemerintahannya mampu berjalan efektif. Ia tidak bisa bertindak sendiri, semuanya saja. Karl Marx pernah berkata bahwa manusia memang membuat sejarah, tetapi dia tidak bisa membuatnya seenaknya sendiri. Diterapkan dalam sistem politik Indonesia, ungkapan itu bisa berbunyi: Sang Pemenang Pilpres bisa saja menang besar, namun dalam memerintah, dia akan menjadi tokoh yang naif jika beranggapan bahwa elektibilitas yang tinggi sama dengan kekuasaan yang dominan dalam menelurkan kebijakan.
Saya kira, siapa pun yang akan menang dalam pilpres mendatang, dia bukanlah tokoh yang naif tersebut. Koalisi akan terbentuk pasca-pilres, dan belajar dari Pilpres 2009, konfigurasi koalisi tersebut mungkin akan berubah atau berbeda dengan koalisi pra-pilpres. Dalam hal terakhir ini, permainan politik yang piawai dimainkan oleh Golkar: sebelum pilpres, dia menjadi seteru, namun setelah pilpres, dengan modal 106 kursi di DPR RI, Golkar menjadi kawan, ikut dalam perahu besar menjadi bagian dari koalisi baru pemerintahan SBY-Boediono.
Memang, terhadap pemerintahan SBY-Boediono pasca-pilpres 2009, ada beberapa kritik bahwa koalisi yang terbentuk terlalu hiruk-pikuk, terlalu besar dengan kepentingan yang terlalu beragam sehingga sulit untuk dikendalikan. Sekber (sekretariat bersama) partai-partai koalisi yang dibentuk tampaknya tidak efektif dalam mengharmoniskan hubungan di antara mereka. Beberapa kali ada peluang untuk merampingkan koalisi, namun sayangnya hal tersebut tidak dilakukan.
Kritik seperti ini, on the second thought, barangkali cukup berdasar. Namun saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menyesali masa lalu. Ia harus menjadi pelajaran bagi pemerintahan baru nantinya.
Seberapa besar koalisi pasca-pilpres yang ideal? Berapa banyak partai, berapa jumlah kursi yang dibutuhkan sebagai basis dukungan parlemen badi presiden baru nanti? Apakah zaken kabinet, atau pemerintahan para ahli dan profesional (bukan politisi partai), memang mungkin diciptakan dalam sistem politik dan kenyataan politik yang ada sekarang?
Dalam hal pertanyaan terakhir ini, jawabannya agak muskil. Konstitusi kita sudah mengatur bahwa semua kebijakan pemerintahan dalam bentuk undang-undang harus mendapat persetujuan bersama oleh presiden dan DPR, baik dalam soal anggaran, perjanjian internasional, dan berbagai kebijakan pemerintahan lainnya yang bersifat strategis. Pengangkatan pejabat-pejabat negara tertentu seperti Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Bank Indonesia, dan sebagainya, juga harus mendapat persetujuan DPR. Tanpa mendapat dukungan yang cukup di parlemen, niscaya presiden tidak akan bisa menjalankan pemerintahan yang baik.
Bahkan kelangsungan jalannya pemerintahan bisa terancam jika, misalnya, rancangan APBN tidak mendapat persetujuan parlemen. Lebih jauh lagi kesalahan-kesalahan pemerintahan dapat dengan cepat dapat dijadikan alasan bagi parlemen untuk menggunakan hak-hak interpelasi, angket, maupun hak menyatakan pendapat. Dan jika kesalahan itu menyangkut presiden sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dapat diajukan pemakzulan (impeachment), maka dukungan parlemen menentukan jatuh atau bertahannya presiden.
Jadi bagi saya, tuntutan pembentukan kabinet ahli non-partai adalah sebuah non-starter, harapan yang akan kandas sebelum matahari terbit. Soalnya bukan baik atau buruk, tetapi mungkin atau tidak mungkin. Dan dalam politik, kita berbicara soal kemungkinan, bukan keharusan normatif yang digagas tanpa peduli pada fakta dan aturan yang ada.
Pertanyaan terpenting di sini adalah: koalisi yang bagaimana? Seberapa besar persisnya koalisi yang mendekati harapan kita akan sebuah pemerintahan yang ideal?
Jawabannya tergantung pada kadar resiko yang sanggup ditoleransi oleh presiden baru kita. Jika sekedar ingin bertahan untuk tidak dijatuhkan di tengah masa jabatannya, maka yang dibutuhkan adalah kumpulan 1/3 plus 1 kursi di parlemen, sebab proses pemakzulan hanya bisa terjadi dengan persetujuan 2/3 anggota DPR.
Namun tentu saja kalau hanya di dukung oleh 1/3 plus 1 kursi di DPR, pemerintahan eksekutif tidak mungkin bisa efektif. Akan terlalu banyak gejolak dalam hubungan antara presiden dan parlemen yang akan berakhir dengan kebuntuan, deadlock.
Bisa saja presiden mendapat dukungan lebih besar dari 1/3 plus 1 namun lebih kecil dari setengah jumlah kursi DPR. Ini berarti presiden menjalankan pemerintahan minoritas, karena hanya didukung oleh minoritas anggota parlemen. Dalam beberapa kasus di Eropa Barat, pemerintahan minoritas memang bisa berjalan beberapa lama. Tapi umumnya pemerintahan minoritas, dalam konteks sistem parlementer Eropa Barat, tidak bersifat stabil, serta dalam menjalankan kebijakan selalu berhadapan dengan tembok yang terlalu membatasi gerakan pimpinan lembaga eksekutif.
Di Amerika Serikat, dengan sistem presidensial yang mirip dengan sistem kita, pemerintahan minoritas kerap terbentuk. Hal ini, misalnya, terjadi tahun lalu, dalam masa pemerintahan Presiden Obama yang kedua. Salah satu aspek negatifnya bisa dilihat pada perundingan soal anggaran pemerintah: pada ujungnya terjadi government shutdown selama dua minggu di akhir tahun lalu, yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Karena itu, sebagai besar ahli ilmu politik tetap menganjurkan perlunya dukungan minimal 50 persen plus 1 di parlemen agar pemerintahan bisa berjalan dengan efektif. Bahkan jika perlu ada sedikit tambahan lagi sebagai bantalan, cushion, untuk mengantisipasi adanya sebagian anggota koalisi yang menyempal, baik karena tergoda oleh rayuan partai lain, atau semata-mata karena kepentingan “ideologi.”
Jadi, koalisi sebaiknya terbentuk dengan jumlah kursi yang memadai, katakanlah 50 persen plus plus. Tetapi ada juga patokan lainnya yang perlu diingat: semakin besar suatu koalisi, semakin luas pula spektrum kepentingan dan ideologi partai-partai yang berkoalisi, dan karenanya akan semakin sulit bagi presiden baru kita untuk mengendalikannya.
Dalam pilihan dan takar-menakar inilah dibutuhkan kearifan sekaligus kepiawaian politik dari Sang Pemimpin baru kita. Politics is the art of the possible. Tidak bisa mutlak-mutlakan. Tidak bisa bersikap “pokoknya ini mau saya”. Sang Pemimpin harus mampu merangkul, tetapi pada saat yang sama harus mampu mengajak berbagai elemen politik yang berbeda untuk berjalan mencapai tujuan yang sama.
Itulah harapan kita. Semoga ia menjadi kenyataan agar Indonesia terus bergerak maju, bukan berputar-putar dalam kesulitan yang sama lima tahun ke depan.

Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.
Viva News, Kamis, 24 April 2014
Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/499183-koalisi–tak-disukai-tapi-perlu

Pemilu 2014: Dekonsentrasi Kekuasaan

0

Selalu saja ada drama dalam pemilu. Semua politisi berharap-harap cemas. Kali ini rakyat yang berkuasa. Rakyat telah menentukan siapa yang menjadi pemenang dan siapa yang kalah, siapa yang bertahan, siapa yang harus angkat kaki dari parlemen. Drama itu bergulir begitu cepat dengan adanya metode hitung cepat (quick count), sehingga pada hari itu juga kita sudah bisa mendapat gambaran hasilnya. Belum resmi memang, namun kira-kira angkanya tidak berbeda jauh dengan hasil yang sebenarnya dari KPU.
Dari hasil hitung cepat terlihat dramanya tidaklah sesederhana sekedar siapa menang dan siapa kalah. Ternyata Pemilu 2014 menghasilkan partai pemenang yang tidak terlalu senang dengan kemenangannya yang hanya berada pada kisaran 18-19 persen. Maklum, harapannya menang dengan angka 27-35 persen. Ada juga yang melejit, tetapi hanya sampai kisaran 11-12 persen, tidak akan cukup untuk mengusung sendiri calon presiden. Ada juga partai yang mampu bertahan di posisi ke-2 walau digempur dengan berbagai isu, dan kini harus merumuskan kembali langkahnya ke depan.
Selain itu, ada juga partai yang jelas-jelas jatuh, terpotong hingga kurang dari separuh perolehan pemilu sebelumnya, tetapi dalam hati tetap bersyukur masih mendapat suara pada kisaran 9-10 persen. Ada lagi partai yang bermimpi mengusung capres dan cawapresnya sendiri, tetapi ternyata hanya mampu lolos tipis dari ambang batas minimal, berada di urutan terakhir, sehingga mimpi indah tadi terpaksa harus dilupakan. Tentu saja ada pula partai yang benar-benar bergembira karena berhasil memperoleh dukungan yang di luar dugaan, masuk kelompok 5 besar, walaupun sebenarnya perolehannya tidak lebih dari kisaran 8 persen.
Semua drama ini terjadi karena dalam pemilu 2014 rakyat memutuskan untuk membagi kekuasaan secara hampir merata pada partai-partai peserta pemilu. Tidak ada satu pun partai yang diberi mandat kekuasaan yang jauh lebih besar dari yang lainnya. PDIP yang selama ini beroposisi sekarang diberi kesempatan untuk berkuasa, tetapi tidak dengan kekuasaan yang dominan, malah lebih kecil dari kemenangan Partai Demokrat pada pemilu 2009.
Bahkan, jika di ukur dari 3 pemenang teratas, total suara mereka pada pemilu 2014 juga lebih kecil dari total suara 3 partai terbesar pada pemilu 2009. Pada pemilu kali ini, total suara PDIP, Golkar dan Gerindra hanya mencapai 45,84 persen, seperti yang terlihat pada hasil akhir quick count SMRC (Saiful Mujani Research Consulting). Sementara total suara Partai Demokrat, Golkar dan PDIP sebagai pemuncak perolehan suara pada pemilu 2009 justru mencapai 49,27 persen.
Singkatnya, puncak gunung dalam pemilu 2014 lebih rendah daripada puncak gunung hasil pemilu 2009.
Ada lagi hal menarik lainnya. Jika diukur dari 3 partai terbawah (PPP, Nasdem, Hanura), total suara yang berhasil diraup adalah sekitar 18 persen. Pada Pemilu 2009 jumlah ini hanya berada pada kisaran 13 persen.
Jadi kalau puncak gunung tadi cenderung merendah, maka kaki gunungnya justru cenderung meninggi.
Itulah potret Pemilu Legilatif 2014. Puncak gunungnya lebih rendah dan kaki gunungnya lebih tinggi. Otomatis, dengan begitu, perut gunungnya lebih lebar. Artinya, partai-partai menengah mendapatkan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Gunung yang persis dengan pengandaian seperti itu terdapat di Sulawesi Selatan, namanya Gunung Lompo Battang, secara literal artinya “gunung berperut besar.”
Apa makna semua itu? Bagi saya, fenomena tersebut dapat disebut sebagai dekonsentrasi kekuasaan. Bukan penggumpalan, tetapi “pelebaran” dukungan yang relatif merata ke banyak partai. Saat ini, rakyat rupanya lebih suka untuk membagi suara mereka secara meluas kepada partai-partai kontestan pemilu. Tidak ada satu pun yang diberikan mandat secara dominan untuk berkuasa. Barangkali rakyat saat ini kuatir, jika mandat terlalu besar diberikan kepada salah satu partai, resiko penyalahgunaan kewenangan akan menjadi terlalu tinggi.
Jadi mungkin bisa disimpulkan, setidaknya untuk sementara ini, bahwa fenomena dekonsentrasi tadi adalah cerminan peningkatan ketidakpercayaan rakyat terhadap politik dan sistem kepartaian kita.
Selain itu, ada lagi fenomena lainnya yang juga menarik untuk dipelajari. Jumlah partai yang lolos dari threshold bertambah, dari 9 menjadi 10 partai. Artinya, parlemen akan tambah semarak. Hal ini adalah salah satu keunikan Pileg 2014: ambang batas dinaikkan, dari 2,5 menjadi 3,5 persen, namun jumlah partai justru bertambah, bukan berkurang sebagaimana yang diharapkan semula. Apakah hal ini adalah cerminan dari gagalnya gagasan penyederhanaan sistem kepartaian kita? Mudah-mudahan tidak.
Dengan semua itu, saat ini bisa dibayangkan bahwa dunia politik dan panggung pengambilan keputusan di DPR RI akan sangat cair dan dinamis. Partai-partai di papan tengah, seperti Partai Demokrat dan PKB, serta partai-partai di papan bawah seperti Nasdem dan Hanura, akan menjadi penyeimbang yang menentukan. Sejauh mereka dapat memainkan porsinya dengan kreatif, maka peran mereka akan vital dalam pengambilan berbagai keputusan strategis dalam lima tahun ke depan.
Kuncinya adalah kepandaian membangun koalisi dan kerjasama lintas partai. Tak ada partai yang bisa jalan sendiri. Kompromi dan moderasi akan mewarnai berbagai kebijakan. Ilmu Kungfu politik benar-benar harus dimainkan oleh para politisi kita. Barangkali proses politik dan pengambilan kebijakan akan lebih lama, lebih ruwet, lebih berkelok-kelok. Suka atau tidak, itulah harga yang harus dibayar. Rakyat sudah memutuskan, and now we have to live with the consequences.
Rumitnya pemerintahan mendatang akan berlipat lagi jika kita juga memikirkan hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Presiden baru kita, siapapun dia, boleh saja terpilih oleh lebih dari 50 persen pemilih, tetapi dalam pemerintahan sehari-hari dia harus tetap bekerjasama dengan parlemen yang kekuasaanya terdekonsentrasi. Presiden RI ke-7 nanti harus bisa membangun koalisi yang cukup besar dan memeliharanya agar bisa menjalankan pemerintahan secara efektif.
Jika tidak, pengambilan keputusan akan banyak bertemu dengan jalan buntu, deadlock. Di Amerika Serikat, gejala ini kerap disebut sebagai demosclerosis, sebuah penyakit dalam sistem demokrasi yang menghalangi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Singkatnya, dinamika hubungan antara presiden dan parlemen kemungkinan akan menjadi lebih kompleks dengan suhu yang lebih tinggi. Bisa dikatakan bahwa tantangan bagi Presiden RI yang baru nanti akan lebih tinggi ketimbang presiden sebelumnya, setidaknya secara politik.
Tentu saja, sebagai warga negara yang baik, kita semua mendoakan dan berharap bahwa tokoh yang terpilih nanti akan berhasil melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Jokowi, Prabowo, ARB, atau tokoh lainnya: siapapun yang pada akhirnya berhasil melewati garis finish, kita harapkan akan menjadi pemimpin yang piawai, tokoh yang amanah, serta sosok yang mumpuni. Indonesia harus tetap melangkah maju, betapapun terjal jalan yang terbentang di depan kita.
Terlepas dari semua itu, kita juga perlu memetik pelajaran dari Pileg 2014. Saya tetap berpendapat bahwa upaya penyederhanaan partai tetap harus dilanjutkan, walaupun sekarang jelas bahwa upaya ini bertemu dengan kenyataan pahit.
Sistem pemilu proporsional tertutup maupun terbuka terbukti tidak kondusif untuk menyederhanakan sistem pemilihan sebagaimana yang kita harapkan. Walaupun sistem proporsional telah di lengkapi dengan ambang batas yang cukup tinggi (yaitu 3,5 persen) untuk mengeliminasi partai-partai gurem, tetapi ia terbukti tidak efektif.
Selain itu, sistem proporsional terbuka ini ternyata juga sangat menyulitkan dan membingungkan rakyat. Hal ini tercermin dari begitu tingginya tingkat suara rusak, yang diperkirakan mencapai angka 7-9 persen. Artinya, sekitar 10 juta suara warga negara harus dinyatakan sebagai suara yang tidak sah, sebagian besar karena bingung dalam penentuan antara partai dan kandidat di dapil masing-masing.
Semua itu masih ditambah lagi dengan tingginya angka golput pada pemilu kali ini, yang diperkirakan mencapai angka di kisaran 30 persen, atau sekitar 60 juta orang.
Belum lagi kalau kita lihat juga sebuah akibat yang menyedihkan: kompetisi internal partai ternyata lebih tajam ketimbang kompetisi antar-partai. Kawan separtai harus bertarung dan sikut menyikut untuk memperebutkan kursi di dapil yang sama, terkadang dengan cara-cara yang jauh dari terpuji. Semua ini bukannya memperkuat sistem kepartaian kita, tetapi justru melemahkannya dari dalam. Partai menjadi semakin rapuh, semakin personal, serta semakin tercerai-berai di dalam tubuhnya sendiri.
Saya kira semua itu jauh dari cita-cita kita pada awal era reformasi sekian tahun silam. Kita ingin memperkuat sistem kepartaian, bukan melemahkannya, agar demokrasi Indonesia dapat ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh dan stabil.
Sistem pemilihan proporsional terbuka sebenarnya digagas dengan niat yang cukup mulia, yaitu untuk mendekatkan kaum politisi di parlemen dengan pemilihnya. Namun ternyata hasil yang diperoleh jauh dari itu. Rakyat menjadi bingung, apatis, dan kaum politisi berkompetisi tanpa arah dan ukuran yang jelas. Intinya, what we got is the worst, not the best, sides of many possibilities.
Karena itu, kita harus mulai memikirkan secara serius untuk beralih ke sistem pemilu distrik, dengan mekanisme first past the post, dengan satu kursi untuk satu dapil. Hanya sistem seperti ini yang bisa menjamin proses penyederhanaan sistem kepartaian secara berkesinambungan.
Sistem distrik juga akan memunculkan wakil-wakil rakyat dengan tingkat responsibilitas yang tinggi. Dan dengan jumlah partai yang lebih sedikit di parlemen, sekitar tiga atau paling banyak empat partai, pembentukan koalisi dan pengambilan keputusan akan lebih sederhana dan cepat. Presiden pun akan bisa menjalankan pemerintahan dengan lebih tenang serta dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tertata dan dapat diandalkan.
Tentu saja, peralihan dari sistem proporsional ke sistem distrik tidak akan mudah. Kader-kader partai yang termasuk “pemimpin jenggot”, yaitu kader yang berakar ke atas tetapi tidak berakar ke bawah, akan kesulitan bersaing dalam sistem distrik, dan karena itu akan menentangnya.
Tapi ada satu harapan kita: Pemilu 2014, dan pemilu sebelumnya, telah melatih sebagian politisi kita di berbagai partai untuk berhubungan langsung dan membangun jaringan yang riil di kalangan pemilih. Saya yakin bahwa kader partai semacam ini kini jumlahnya sudah cukup memadai. Karena itu, partai-partai besar yang ada, seperti Partai Golkar, PDIP, dan partai lainnya, pasti sudah mampu mengidentifikasi kader-kadernya yang potensial untuk bersaing dalam sistem distrik.
Pertanyaannya, maukah dan beranikah kita beralih ke sistem baru ini? Kalau tidak, bersiap-siaplah untuk menjalani begitu banyak konsekuensi yang muncul dari sistem kepartaian yang terlalu kompleks yang di barengi dengan kekuasaan yang terdekonsentrasi.
Saya berharap, di tahun-tahun mendatang, akal sehat kita akan kembali berada di depan. Kita harus membangun konsensus baru, agar demokrasi Indonesia menjadi lebih baik lagi. Setuju?

Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.
Viva News, Kamis, 17 April 2014
Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/497406-pemilu-2014–dekonsentrasi-kekuasaan

Wakil Presiden: Hanya Pelengkap?

0

Winston Churchill pernah berkata bahwa dalam dunia politik, jangka waktu dua minggu adalah bagaikan eternity: dalam politik yang cair, apapun bisa terjadi dalam waktu singkat. Don’t take anything for granted.
Pendaftaran capres dan cawapres untuk berlaga dalam Pilpres pada 9 Juli nanti akan segera dibuka kurang dari dua minggu ke depan, 18-20 Mei. Ada yang menebak bahwa mungkin akan muncul 4 pasang kandidat. Tetapi ada pula yang berspekulasi bahwa pada akhirnya hanya akan ada dua pasang kandidat yang mendaftar ke KPU.
Mana yang benar? Hari ini belum ada jawaban pasti. Pimpinan partai dan calon-calon kandidat masih mencari, merumuskan, memilih pasangan yang cocok. Ada pertemuan yang muncul di permukaan dengan liputan media yang luas.
Tetapi pasti ada pula perundingan di balik layar, tersembunyi dari radar wartawan. Politics is about movements in the shadows, demikian salah satu ungkapan yang ada dalam buku teks ilmu politik.
Sambil menunggu dan menebak-nebak, tidak ada salahnya kalau kita diskusikan terlebih dahulu apa sesungguhnya peran seorang wapres. Saya sudah beberapa kali menulis tentang peran dan asal-usul lembaga presiden di rubrik ini. Sekarang, tidak ada salahnya jika kita juga mengerti posisi dan peranan orang nomor 2 terpenting di Republik kita, Sang Pendamping, the Second Person in the line of power.
Secara umum, posisi seorang wapres lebih banyak dianggap hanya sebagai aksesoris sistem presidensial. Bahkan, lebih jauh lagi, kalau kita simak apa yang ada dalam konsitusi kita, peran wapres hanya dipandang sebagai “ban serep” yang berfungsi jika presiden “mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya.”
Konstitusi kita tidak pernah merinci tugas dan fungsi wapres. Yang tercantum hanya kalimat seperti ini: “Dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang menjadi tugas wapres sehari-hari, atau bagaimana wapres harus menjalankan perannya dalam pemerintahan.
Walaupun secara formal wapres memang hanya dianggap sebagai pelengkap, namun dalam pelaksanaan pemerintahan sehari-hari semuanya tergantung pada dinamika hubungan pribadi serta the level of trust antara presiden dan wapresnya, serta tergantung pula pada konteks sejarah.
Dalam sistem otoritarian, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, peran wapres memang lebih banyak menjadi pelengkap. Dalam dua tahap sejarah ini, panggung pemerintahan didominasi oleh seorang tokoh. Bung Karno dan Pak Harto hampir tidak memberikan ruang yang memadai bagi wapres mereka masing-masing untuk memainkan peran yang berarti.
Bung Karno, setelah Bung Hatta mengundurkan diri pada 1956, bahkan tidak merasa memerlukan wapres selama bertahun-tahun, praktis hingga akhir kekuasaannya yang tragis di tahun 1966-67. Pak Harto memiliki banyak wapres, dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, hingga Jendral Try Sutrisno dan Prof. Habibie.
Semua nama itu adalah tokoh-tokoh terhormat, namun dalam pemerintahan sehari-hari mereka hanya memainkan peran yang sangat terbatas. Prof. Habibie barangkali sedikit berbeda, sebab pada akhir era Orde Baru, Pak Harto memberinya ruang yang sedikit lebih leluasa.
Setelah era reformasi hampir dua dekade yang silam, aturan formal tentang peran dan fungsi wapres memang tidak mengalami perubahan. Tapi dalam prakteknya, muncul berbagai dinamika penting dan menarik, seiiring dengan berubahnya komposisi dan gelora politik dalam demokratisasi kita.
Reformasi mengubah susunan bintang di jagat politik kita, the realignment of the stars, dan karena itu pula perilaku serta hubungan antara our political stars juga mengalami perubahan.
Hal ini muncul pertama kali pada masa kepresidenan Gus Dur. Waktu itu, PDIP muncul sebagai juara atau pemenang besar Pemilu 1999, dengan perolehan suara 34 persen. Kemenangan ini adalah kemenangan yang fantastis, bagian dari eforia reformasi di mana PDIP dan Megawati Sukarnoputri dianggap sebagai simbol dan antitesis rezim yang sedang tumbang.
Karena itu, wajar saja jika Megawati yang saat itu menjadi wapres berada di posisi yang unik. Ia orang nomor 2, tetapi perolehan suara partainya jauh melampaui perolehan suara partai pendukung Presiden Gus Dur, yaitu PKB.
Karena keseimbangan yang jomplang ini, maka saat itu muncul wacana untuk memberikan peranan yang lebih vital dan lebih luas bagi wapres. Ada berbagai ide yang muncul, misalnya pemilahan praktis Kepala Negara (Gus Dur) dan Kepala Pemerintahan (Megawati), dan semacamnya. Tentu saja ide ini ditolak Presiden Gus Dur, dengan alasan bahwa ide tersebut inskonstitusional.
Jalan keluarnya adalah sebuah trik yang cantik: di bawah Megawati, lembaga kesekertariatan wapres diperkuat, dengan peran yang lebih dari biasanya. Lewat lembaga inilah, serta lewat peran Fraksi PDIP di parlemen, Megawati sebagai wapres memainkan peran yang penting dalam pemerintahan sehari-hari.
Setelah era Gus Dur-Megawati, serta Megawati-Hamzah Has, peran wapres yang unik lainnya terjadi pada duet SBY-JK pada periode 2004-2009. Boleh dikata, duet ini adalah pasangan paling dinamis yang ada dalam sejarah kita.
Presiden SBY memberi ruang yang cukup luas bagi Wapres JK dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, termasuk dalam pembuatan kebijakan. Kiprah JK dalam bidang ekonomi dan perdamaian di Aceh sangat menonjol.
Namun semua itu tetap berada dalam koridor yang ditentukan oleh Presiden SBY. Langkah dan inisiatif JK, walaupun kelihatan di permukaan sering diambil secara ad hoc dan independen, pada ujungnya tetap dilaporkan kepada SBY, dan jika disetujui, ditetapkan dengan keputusan presiden.
Kredit tertinggi untuk semua kebijakan pemerintahan tetaplah harus ditujukan kepada Sang Presiden, dengan catatan tambahan bagi peran dan jasa Sang Wapres.
Setelah duat SBY-JK, pada pemerintahan berikutnya duet SBY-Boediono sebenarnya juga berpeluang menjadi duet yang tidak kalah dinamisnya. Boediono adalah seorang profesor ekonomi, pemikir yang serius, serta pejabat pemerintahan dengan segudang pengalaman.
Beliau pernah menjadi pejabat tinggi Bappenas di Era Pak Harto, Menteri Keuangan di Era Megawati, maupun Menko Ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia di zaman SBY-JK. Dengan karakternya yang “halus” serta dengan kredibilitasnya yang tinggi, Boediono mendapat ruang yang luas dari Presiden SBY untuk memberi kontribusi dalam pemerintahan sehari-hari, khususnya dalam masalah ekonomi dan pengawasan kinerja kabinet.
Memang, betapapun tingginya kemampuan dan kredibilitas Boediono, satu hal yang tidak dimilikinya: dukungan dan jaringan politik, terutama di parlemen. Tanpa dukungan dan jaringan semacam ini, langkah dan peranan Boediono nampak sangat sempit, dibatasi oleh tembok-tembok yang sulit untuk ditembusnya.

Menuju lembaga wapres yang kuat?
Jadi itulah kurang lebih cerita dan sejarah singkat wapres di negeri kita. Ke depan, menurut saya, peran wapres harus bisa diperkuat, dibuat lebih berfungsi secara substansial, tapi tetap dalam koridor sistem presidensial. Matahari pemerintahan harus tetap satu, yaitu Sang Presiden. Tetapi Sang Wapres dapat menjadi rembulan yang indah dalam jagat raya sistem pemerintahan Indonesia.
Beberapa contoh menarik dari Amerika Serikat yang juga menganut sistem presidensial seperti kita dapat menjadi pelajaran berharga. Dua wapres AS terakhir dianggap sebagai tokoh yang telah menjalankan perannya dengan efektif: bukan ban serep, tetapi juga tidak mengambil alih panggung tertinggi.
Dick Cheney mendampingi Presiden George W. Bush selama dua periode. Dengan pengalamannya sebagai politisi senior di Partai Republik, ia memainkan peran vital di bawah Bush dalam merumuskan kebijakan dan memimpin pemerintahan sehari-hari, khususnya di bidang pertahanan dan diplomasi internasional.
Ia dianggap sebagai pendamping yang hampir sempurna bagi seorang presiden yang memang tidak memiliki banyak pengalaman di bidang-bidang strategis tersebut, khususnya setelah peristiwa terorisme 9/11 yang menghentakkan publik AS waktu itu. [Lihat foto di link aslinya, pen].
Setelah Dick Cheney, wapres berikutnya di bawah Presiden Obama adalah Joe Biden. Ia juga dianggap sebagai tokoh politik senior yang berasal dari Partai Demokrat.
Pengalamannya yang luas, serta karakternya yang lumayan keras dianggap melengkapi sosok Sang Presiden yang intelektual dan sangat kalem. Joe Biden diberi kewenangan yang luas dan mampu mengukir perannya dengan baik. Hal ini tampaknya diamini oleh publik AS, terbukti dengan terpilihnya kembali duet Obama-Biden untuk memimpin Gedung Putih di periode kedua, 2012-2016.
Singkatnya, Cheney dan Biden berhasil sebagai wapres tanpa menimbulkan ancaman atau tanpa mengambil porsi dari Sang Presiden. Mereka menjalankan perannya sebagai pembantu presiden yang loyal.
Bahkan dalam beberapa hal, mereka pasang badan, diverting the attack on them, sehingga Sang Presiden memiliki tembok pengaman politik yang handal dan terpercaya.
Kadang mereka menjadi pemain cadangan, kadang menjadi pemain bayangan tanpa bola, tetapi kadang pula mereka menjadi pemain penyerang, the attacking dog, yang mengigit atau mengejar lawan-lawan politik untuk mengamankan kebijakan pemerintahan.
Karena itu, kedua wapres tersebut dianggap sebagai aset penting oleh presiden masing-masing dan diminta untuk mendampingi dalam dua masa jabatan. Hubungan mereka mulus, produktif, dan saling melengkapi, dan karena itu menjadi pelajaran berharga untuk merumuskan pola hubungan presiden-wapres yang ideal, baik di AS maupun di Indonesia.
Khususnya buat kita, pelajaran demikian harus kita simak baik-baik. Konstelasi baru politik Indonesia dan kebutuhan pemerintahan modern menghendaki munculnya peran wapres yang lebih dari sekadar ban serep.
Persoalannya adalah, apakah Sang Presiden terpilih nanti bersedia memberi ruang yang cukup luas bagi wapres dalam pemeirntahan sehari-hari? Demikian pula, apakah Sang Wapres mampu menempatkan dirinya, sanggup menjadi tokoh utama tanpa merebut panggung nomor satu, tanpa menjadi matahari kembar?
Apakah wapres sanggup menjaga loyalitas tegak lurus, sehingga oleh Sang Presiden dianggap sebagai aset, bukan ancaman?
Semuanya tergantung pada chemistry, kematangan pribadi, tingkat kepercayaan, serta lingkungan dan tim inti di sekitar presiden dan wapres.
Kita berharap bahwa tokoh-tokoh yang terpilih nanti adalah putra atau putri terbaik Indonesia. Semoga mereka akan sanggup bekerja sama, menjadi dwitunggal yang memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.

Viva News, Kamis, 8 Mei 2014, 14:12 WIB
Sumber: http://m.news.viva.co.id/news/read/502905-wakil-presiden–hanya-pelengkap-