Mbah Sahal Mahfudz, Teladan Berintegritas

0

SUNGGUH, bukan hanya warga NU yang sedih atas sedo-nya KH Sahal Mahfudz. Dia merupakan salah seorang putra terbaik negeri ini. Sebuah kepulangan yang menimbulkan rasa kehilangan bagi bangsa. Pengaruh dan ilmunya sangat bermanfaat bagi Indonesia. Dia mewakafkan hidupnya untuk santri, keilmuan, dan bangsa. Namun, di atas itu semua, dia merupakan pelajaran teladan tentang seorang kiai berintegritas.
Hampir di setiap pertemuan, wajahnya mencerminkan aura, karisma alami seorang alim, seorang ulama. Dia hemat dalam berkata. Namun, setiap tindak tanduknya mencerminkan sikap dan ilmunya yang luas. Tidak aneh bila dia dicintai umat.
Kesehariannya dipenuhi beragam aktivitas sosial dan tetap meluangkan waktu untuk mengajar dan menulis. Bersama KH Ali Yafie, Mbah Sahal mengembangkan wacana fikih sosial. Tulisan-tulisannya dikumpulkan dan diberi judul Nuansa Fiqih Sosial. Dalam buku itu, dia berusaha mencari alternatif dalam menyatukan fikih dan amal-amal sosial. Bahwa selama ini fikih selalu dikaitkan dengan ibadah mahdhah, Mbah Sahal justru mengingatkan kita bahwa fikih juga bertalian dengan ihwal-ihwal sosial. Berkat kegigihannya dalam mengaji dan menyebarluaskan gagasannya tersebut, dia dianugerahi gelar honoris causa dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.
Penghargaan tersebut menandakan keistimewaan beliau. Pendidikan formalnya hanya sampai tingkat madrasah tsanawiyah (setingkat SMP). Beliau adalah contoh nyata bahwa berpendidikan, berilmu, dan berkarakter itu berbeda dengan bersekolah. Sekolah formalnya bisa rendah, tapi ilmunya tinggi, dalam, dan luas. Sejak muda, dia haus mencari ilmu. Berpindah-pindah pesantren sampai akhirnya mengaji di Madinah.
Bacaan Mbah Sahal luas. Selain kitab-kitab kuning, dia membaca buku-buku psikologi sampai novel detektif. Dia tidak hanya menulis dalam bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Arab. Konon, salah satu bukunya yang berjudul Thariqatal-Hushul ilaGhayahal-Ushul dikaji di Timur Tengah. Ini tentu merupakan kualitas tersendiri.
Lahir dengan nama Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Alhajaini, Mbah Sahal merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Beliau lahir di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. Sejak 1963, beliau mengasuh Pesantren Maslakul Huda Putra. Pondok Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, tersebut didirikan ayahnya, KH Mahfudz Salam, 1910.
Karirnya dalam organisasi kemasyarakatan NU dimulai pada era 60-an sampai akhir hayat. Tidak hanya di NU, Mbah Sahal juga berkecimpung di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain mengajar di pesantrennya, dia menjadi rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama sejak 1989 sampai sekarang. Meski memiliki segudang jabatan di organisasi sosial kemasyarakatan dan berpengaruh, dia tidak tergiur menyalahgunakan amanah yang dipegang. Dia tetap memegang teguh prinsip, menyatakan kejujuran dan membela kebenaran.
Suaranya didengar semua kalangan. Dia sangat berpengaruh. Namun, dia menggunakan pengaruhnya untuk kebaikan, untuk kemaslahatan umat. Juga, meski menyandang berbagai jabatan, dia tetap tampil sederhana. Tidak ada yang berubah dalam penampilan dan sikapnya. Itu merupakan contoh luar biasa dalam soal keikhlasan: dipuji tidak terbang, dikritik tidak tumbang.
Dia juga mengupayakan dan berada di garis depan dalam isu-isu bangsa ini seperti isu kerukunan agama. Dalam konteks wacana Islam dan negara, pendapat Mbah Sahal jelas: menjadi seorang Indonesia sekaligus menjadi seorang muslim saleh. Sebagaimana Gus Dur, dia tak melihat pertentangan antara Islam dan negara.
Nabi bersabda, ada tiga hal yang akan terus mengalir setelah seseorang wafat: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. Saya kira, Mbah Sahal mendapatkan ketiganya. Selain menyedekahkan kehidupannya untuk Islam, dia menyebarkan ilmunya untuk masyarakat luas. Kini tentu bukan hanya anak biologisnya yang akan mendoakan dia. Kita, anak bangsa ini, adalah anak-anak ideologis beliau. Kita semua pun mendoakannya.
Semoga semua ini menjadi sumur pahala yang tak pernah kering bagi dia. Allahumma ighfir lahu wa irhamhu wa afihi wa a’fu ‘anhu. Lahu al-fatihah.