MASA KEGEMILANGAN DINASTI ABBASIYAH

Oleh: Rifqi

 Dengan runtuhnya Dinasti Umayyah pada hari Kamis 30 Oktober 749 M, tampuk kekhalifahan beralih kepada Abu Al-‘Abbas yang dengan pengakuan publik di dalam masjid Kuffah[1]. Maka kekhalifahan Dinasti Abbasiyah pertama telah diangkat dan menjadi dinasti ketiga (setelah Khulafah Al-Rasyudin dan Umayyah) dari tahun 750-1258 (508 tahun). Khalifah pertama ini menyebut dirinya sebagai Al-Shaffah[2] yang mengindikasikan kekuatan dalam menjalankan segala kebijakan pemerintahannya. Berikut mata rantai silsilah Dinasti Abbasiyah.

  • Hubungan Internasional

Di abad ke-9 ini, Raja Harun Al-Rasyid sudah menjalin hubungan diplomasi dengan raja Frank, Raja Charlemagne[3]. Mereka menjalin persekutuan ini memiliki maksud masing-masing. Charlemagne menjalin hubungan dengan Harun untuk menghadapi Bizantium. Hal ini dimanfaatkan Harun untuk menghadapi Umayyah di Spanyol. Kedekatan hubungan ini ditandai dengan pertukaran duta besar dan hadiah berupa bahan pakaian, gajah, dan rempah-rempah[4].

Berbeda dalam hubungan diplomasi, penguasa Abbasiyah dengan Bizantium berseteru dalam kurun waktu lebih dari satu abad lamanya. Di antaranya raja Al-Mahdi pertama yang mengumandangkan perang suci melawan Bizantium dan dilanjutkan oleh anaknya, Harun. Di bawah komando Harun lah pasukan Arab telah mencapai Bosporus yang menyebabkan Ratu Irene dipaksa menandatangani perjanjian memalukan dan  membayar upeti sebanyak 70-90 ribu dinar yang pada akhirnya pun perjanjian ini diingkari oleh penerus Ratu Irene, Nicephorus I[5].  Selain itu, Harun melancarkan penyerbuannya dari kota Raqqah dan perbatasan Suriah. Masa pemerintahan Harun inilah merupakan masa kegemilangan (keemasan) yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah. Hanya pada tahun 838 terjadi upaya penguasaan daerah di seberang Taurus yang dilancarkan oleh al-Mu’tashim dengan persenjataan yang lebih lengkap, berhasil mencapai pusat daratan Romawi.

  • Sistem Pemerintahan

Saat kekukasaan islam di masa Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Al-Mahdi mengalami perkembangan pesat yang bergerak ke wilayah Timur Asia Tengah, Hindia, dan perbatasan Cina[6]. Bahkan umat islam mampu memasuki selat Bosporus (selat penghubung benua Eropa dan Asia) yang membuat ratu Irene tak berkutik dan berjanji membayar upeti.

Sumber sejarah lain menyebutkan bahwa di masa Harun Al-Rasyid justru dimulainya masa keemasan[7]. Buktinya Baghdad saat pemerintahan Harun menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran yang dapat menyaingi Bizantium. Kemewahan-kemewahan menghiasi istana kerajaan. Bahkan satu sumber menyebutkan bahwa sepupu Harun sendiri, Zubaydah dapat menikmati kemegahan ini dengan menggunakan gelas yang terbuat dari perak ataupun emas dan dia pula orang arang yang pertama kali menghiasi sepatunya dengan batu-batu berharga.

Sumber pemasukan negara yang menunjang keeksistensinya didapat dari pajak berupa zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan perak, barang dagangan, dan harta lainnya yang bisa berkembang. Pemasukan inilah yang memperlihatkan akan kemakmuran yang tinggi selama abad pertama masa kekuasaan mereka[8].

Wilayah yang dikuasai dinasti ini pada masa kekhalifahan di Baghdad meliputi Saudi Arabia, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Quait, Iraq, Iran, Yordania, Palestina, Libanon, Mesir, Libia, Turki, Armenia, Tunisia, Al-Zajair, Maroko, Spanyol, Afganistan, Pakistan dan sekitar daerah laut Kospra. Namun seluruh daerah kekuasaan di atas tidak seluruhnya di bawah kekuasaan Abbasiyah, seperti Andalusia (Spanyol), Afrika Utara, Syam, dan India, dan lainnya. Hal ini dikarenakan dinasti ini menerapkan sistim demokrasi yang merata, bukan dipegang oleh bangsa Arab sendiri. Sehingga setiap daerah memiliki wewenang untuk memimpin daerahnya masing-masing. Pusat pemerintahan Abbasiyah sendiri bukan di Seria (ibu kota Dinasti Umayyah), tetapi beralih ke Iraq,tepatnya di kota Baghdad[9].

Selain itu ada beberapa kemajuan dan keberhasilan di lembaga pemerintahan di antaranya sebagai berikut.

  1. Membentuk kantor pengawas (diwan al-zimam), dewan penyelidik keluhan (diwan al-nazhar fi al-mazhalim), departemen kepolisian (diwan al-syurthah), departemen pos (shahib al-barid), dan dewan peradilan (diwan al-‘adl).
  2. Organisasi militer terdiri pengawal khalifah (haras), pasukan tetap (jund), pasukan sukarela (thawwi’ah), dan pasukan reguler yang terdiri dari pasukan infanteri (harbiyyah), pasukan pemanah (ramiyah), dan pasukan kavaleri (fursan). Semua pasukan ini didominasi oleh orang-orang Persia, bukan bangsa Arab.

Dinasti islam yang besar ini berhasil mengkonsolidasi kembali kepemimpinan gaya islam serta mengembangkan budaya dan ilmu pengetahuan Timur Tengah. Sistem pemerintahannya pun berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial,dan budaya. Jika ditinjau dari perubahan sistem kepemimpinan Abbasiyah, para sejarawan membagi masa kepemimpinannya menjadi lima periode[10], yaitu :

  1. Periode I atau periode pengaruh Arab dan Persia I, terjadi pada tahun 132-232 H/750-847 M. Berakhirnya tahap (periode) ini seiring meninggalnya khalifah Al-Wasiq.
  2. Periode II atau periode pegaruh Turki I, yakni tahun 232-334 H/847-945 M dimana Khalifah Al-Mutawakkil memegang kekhalifahan.
  3. Periode III atau periode  pengaruh Persia II (334-447 H/945-1055 M), yakni  kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah.
  4. Periode IV atau periode pengaruh Turki II(447-590 H/1055-1194 M), yakni masa kekuasaan daulat Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah sampai datangnya pengaruh lain seperti invasi dari bangsa Tar-Tar dan ekspansi bani Utsmani.

Adapun perpolitikan yang dijalankan dalam sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah periode I  adalah sebagai berikut.

  1. Khalifah dibantu oleh wazir, gubernur, menteri, dan para panglima memegang penuh kekuasaan.
  2. Kegiatan politik, sosial, ilmu pengetahuan dan  kebudayaan berpusat di ibu kota negara, Baghdad.
  3. Ilmu pengetahuan dijadikan sebagai suatu hal yang sangat penting.
  4. Kebebasan berpikir dijunjung tinggi dan diakui sepenuhnya.
  5. Para menteri kebangsaan persia diberikan hak penuh untuk menjalankan pemerintahan.

Adapun corak perpolitikan dalam menjalankan roda pemerintahan dinasti Abbasiyah periode II, III, dan IV adalah sebagai berikut.

  1. Kekuasaan khalifah mulai melemah, bahkan hanya sebatas lambang (formalitas) saja.
  2. Berdirinya daulah Umayyah II di Andalusia yang mengangkat  Abdurrahman Al-Nasir.
  3. Afrika Utara terbagi menjadi daulah Idrisiyyah di Maroko, Aghlabiyah di Tunisia, dan Ikhsyidiyah di Mesir.
  4. Kota Baghdad tidak lagi menjadi pusat peradaban dan kota internasional
  5. Ilmu pengetahuan semakin melesit dan berkembang seiring dengan keadaan politik dan militer merosot.
  6. Golongan Syiah Ismailiyah mendirikan daulah Fatimiyyah dan mengangkat Ubaidillah al-Mahdi.
  • Kebangkitan Intelektual

Kebangkitan ini dipengaruhi oleh datangnya pengaruh asing, yakni sebagian Indo-Persia dan Suriah, dan pengaruh Yunani. Buktinya Periode Daulat Abbasiyah ini lebih memprioritaskan pada penekanan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah dengan pengembangan bidang sains, teknologi dan filsafat. Meskipun  saat itu dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh Kekhilafahan Islam. Seiring perkembangan peradaban dan kebudayaan, terjadi pula proses  penterjemahan dari karya-karya Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab yang didorong oleh motif sosial, politik dan intelektual. Ini berarti bahwa para pihak baik dari unsur masyarakat, elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar[11].

Pengaruh Yunani ini mencapai puncaknya di masa kekhalifahan al-Ma’mun dan para pengikut mu’tazilah yang memiliki kecenderungan mengedepankan akal (rasio)[12]. Sehingga sebagian besar teks-teks agama harus disesuaikan dengan nalar logika. Al-Ma’mun bahkan mendirikan sebuah bangunan yang berfungsi sebagai perpustakaan, akademi, dan biro penerjemahan yang dinamakan Bait al-Hikamah.

Peradaban lain yang berpengaruh adalah budaya India yang menjadi sumber inspirasi perama lahirnya matematika. Tahun 154 H, seorang pengembara india memperkenalkan suatu buku berjudul Siddhanta yang kemudian atas perintah Al-Mansur diterjemahkan oleh Ibrahim al-Fazari . berkat keahliannya menejemah dan menguasai keilmuan buku ini, maka al-Fazari dijuluki astronom islam pertama.

Selain itu pula, pengaruh Persia berupa keindahan tulisan (kaligrafi) dan kesenian. Philip K. Hitti mengungkapkan penelitian hal ini dalam bukunya bahwa bangsa Persia telah memberikan pengaruh besar dalam perkembangan seni dan kaligrafi. Terbukti adanhya karya sastra Arab paling awal yang berjudul Kalilah Wa Dimnah.

Gerakan penerjemahan pada zaman itu kemudian diikuti oleh suatu periode kreativitas besar, karena generasi baru para ilmuwan dan ahli pikir muslim yang terpelajar itu kemudian membangun dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya untuk mengkontribusikannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Proses penterjemahan yang dilakukan ilmuwan muslim di masa Dinasti Abbasiyah ini tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani, tetapi juga mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Proses asimilasi tersebut menurut terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadopsi sehingga masuk ke dalam lingkungan pandangan hidup Islam. Proses ini menggambarkan betapa tingginya tingkat kreativitas ilmuwan muslim sehingga dari proses tersebut telah melahirkan pemikiran baru yang berbeda sama sekali dari pemikiran Yunani dan bahkan asing bagi pemikiran Yunani[13].

Pencapaian prestasi yang gemilang sebagai implikasi dari gerakan terjemahan yang dilakukan pada zaman Daulat Abbasiah sangat jelas terlihat dengan lahirnya para ilmuwan muslim yang mashur dan berkaliber internasional seperti  Al-Biruni (fisika, kedokteran), Jabir bin Hayyan (Geber) pada ilmu kimia, Al-Khawarizmi (Algorism) pada ilmu matematika, Al-Kindi (filsafat), Al-Farazi, Al-Fargani, Al-Bitruji (astronomi), Abu Ali Al-Hasan bin Haythami pada bidang teknik dan optik, Ibnu Sina (Avicenna) yang dikenal dengan Bapak Ilmu Kedokteran Modern, Ibnu Rusyd (Averroes) pada bidang filsafat, Ibnu Khaldun (sejarah, sosiologi). Mereka telah meletakkan dasar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan[14].

Berikut ini biografi ringkas ilmuwan muslim yang mewakili sekian banyak ilmuan ulung pada masa Daulat Abbasiyah yang karyanya diakui di dunia diantaranya[15]:

  • Al-Razi (guru Ibnu Sina) dengan nama lengkapnya Zakariya Al-Razzi. Dia berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu Sina.
  • Al-Battani, dikenal dengan panggilan Al-Batenius atau Al-Betegni. Dia yang memilki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Jibir bin Sinan al-Battani Al-Harrani al-Sabi’ merupakan seorang astronom arab terbesar yang lahir pada tahun 244 H/858 M. Dia berhasil membuktikan bahwa bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal adalah Kitab Al-Zij dalam bahasa latin, yakni De Scienta Stellerum u-De-Numeris-Stellerumet-Motibus, dimana terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan.
  • Al-Ya’qubi, yakni seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae merupakan buku yang monumental dirinya.
  • Al-Khawarizmi,  memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi. Di kalangan orang-orang barat, terutama Eropa dia dikenal dengan sebutan Algoarismi atau Algorism. Nama panggilan inilah kemudian dijadikan nama hitungan aritmatika dengan algorisme[16]. Dia lahir di daerah Khwarizm, Uzbekistan pada tahun 266 H/850 M. Karyanya yang paling terkenal dan memberikan kontribusi dalam perkembanan aritmatika yakni Al-Mukhtashar fi Hisab Al-Jabr wa Al-Muqabala.
  • Al Buzjani (Abul Wafa). Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).

Kini terbuktilah sejarah telah memcatat bahwa kontribusi Islam pada kemajuan ilmu pengetahuan khususnya pada masa dinasti Abbasiyyah ini bagi dunia modern menjadi fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Bahkan bermula dari dunia Islam lah ilmu pengetahuan mengalami transmisi (penyebaran dan penularan), diseminasi dan proliferasi (pengembangan) ke dunia Barat. Melalui dunia Islam lah mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan modern. Menurut George Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk merasakan perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab.

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Isy, Yusuf. 2009. Dinasti Abbasiyah (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar

Al-Suyuti. 2003.  Tarikh Al-Khulaf . Mesir : Darul-Yaqin

Arsyad, Natsir. 1990. Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung : Mizan

Hitti , Philip K.. 2010. History Of The Arabs. Jakarta  : PT. Serambi Ilmu Semesta.

Percy, Sir Sykes. 1958.  A History of Persi. New York : ST Martin’s Press

Sunanto, Musyrifah. 2003.  Sejarah Islam Klasik. Bogor : Prenada Media

Syukur , Fatah.  Sejarah Peradaban Islam. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra

Thohir, Ajid. 2009. Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada

Zuhairin. 1997.  Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara


[1] Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta  : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010),  hal. 355

[2] Al-Suyuti, Tarikh Al-Khulaf ( Mesir : Darul-Yaqin  , 2003), hal. 311

[3] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 81

[4] Opcit, hal. 370

[5] Ibid, hal. 373

[6] Fatah Syukur , Sejarah Peradaban Islam  (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 200), hal.90

[7] Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta  : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 375

 

[8] Ibid, hal. 398

[9] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2009), Hal. 170

[10] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Bogor : Prenada Media, 2003), hal. 50

[11] Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta  : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010),  hal. 382

[12] Sir Percy Sykes,  A History of Persia (New York : ST Martin’s Press, 1958), hal. 10

[13]Ibid, hal. 7

[14] Zuhairin, Sejarah Pendidikan Islam  (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hal. 108

[15] Natsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung : Mizan, 1990)

[16] Ibid, hal. 33. Algorisme juga diartikan untuk suatu tata cara sistematis untuk menemukan jawaban dari sebuah soal, dimana tiap langkah harus jelas letaknya,

Tinggalkan komentar